Ironi sejarah,
perang Diponegoro 1825-1830 vs bencana politik lumpur Lapindo Brantas
Sejarah memang menginformasikan waktu dan tempat kejadian
peristiwa. Memahami perang Diponegoro, kami anak SR (Sekolah Rakyat, sekarang
SD), merasakan perang memakan waktu yang lama, dalam hitungan tahun. Bayangan kami,
tiap hari perang. Kalau perangnya seperti di ketoprak, bayangkan betapa banyak
korbannya. Terlebih ajang perang tidak disatu lokasi.
Perjuangan bersenjata, skala lokal, pangeran Diponegoro
berikhtiar melawan kesewenangan penjajah Belanda. Akal licik, akal bulus, akal
kancil dan tipu daya Belanda berhasil menangkap pangeran Diponegoro. Demikian, “hafalan”
yang terekam di otak benak kami. Sampai sekarang.
Komedian memlesetkan angka 1825-1830 sebagai pertanda waktu
azan maghrib, waktu setempat.
Terhitung mulai tanggal 29 Mei 2006, lokasi eksplorasi
minyak oleh perusahaan minyak PT Lapindo Brantas Inc lumpur di di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, provinsi Jawa
Timur, telah menyemburkan lumpur panas ke permukaan bumi. Sampai tulisan
ini ditulis, agaknya luberan, luapan, limpahan, limbahan lumpur Lapindo Brantas
tetap berjalan sebagaimana mestinya. Semakin dibendung, semakin menggelundung. Semakin
dicegah, semakin melimpah. Semakin dicegat, semakin menyengat. Semakin dimanipulasi,
semakin menjadi atraksi.
Sudah kehendak sejarah, akhirnya rangkaian kejadian
peristiwa lumpur Lapindo Brantas masuk kategori Bencana Politik Nasional. Minimal
sebagai akumulasi bencana (lingkungan + alam + sosial
+ ekonomi + infrastruktur + .......... ).
Dari antar periode lima tahunan kepemimpinan nasional,
mirip perang Diponegoro, akhirnya penanganan kasus Lapindo Brantas menjadi
Proyek Politik. Terlebih ada yang memakai cara penjajah Belanda, bahkan lebih
cerdas, berklas, sistematis, masif dan berkelanjutan untuk membelenggu nasib
rakyat.
Apa perlu dilombakan, bagai siapa saja yang bisa
menuntaskan sampai tuntas, sampai kering lumpur Sidoarjo mendapat hadiah
separuh atau setengah wilayah Nusantara. Asal jangan berharap, dengan nilai
jual lumpur Lapindo Brantas merasa layak jadi presiden. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar