Halaman

Minggu, 05 Juli 2015

Ironi sejarah, perang Diponegoro 1825-1830 vs bencana politik lumpur Lapindo Brantas

Ironi sejarah, perang Diponegoro 1825-1830 vs bencana politik lumpur Lapindo Brantas

Sejarah memang menginformasikan waktu dan tempat kejadian peristiwa. Memahami perang Diponegoro, kami anak SR (Sekolah Rakyat, sekarang SD), merasakan perang memakan waktu yang lama, dalam hitungan tahun. Bayangan kami, tiap hari perang. Kalau perangnya seperti di ketoprak, bayangkan betapa banyak korbannya. Terlebih ajang perang tidak disatu lokasi.

Perjuangan bersenjata, skala lokal, pangeran Diponegoro berikhtiar melawan kesewenangan penjajah Belanda. Akal licik, akal bulus, akal kancil dan tipu daya Belanda berhasil menangkap pangeran Diponegoro. Demikian, “hafalan” yang terekam di otak benak kami. Sampai sekarang.

Komedian memlesetkan angka 1825-1830 sebagai pertanda waktu azan maghrib, waktu setempat.

Terhitung mulai tanggal 29 Mei 2006, lokasi eksplorasi minyak oleh perusahaan minyak PT Lapindo Brantas Inc lumpur di di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, provinsi Jawa Timur, telah menyemburkan lumpur panas ke permukaan bumi. Sampai tulisan ini ditulis, agaknya luberan, luapan, limpahan, limbahan lumpur Lapindo Brantas tetap berjalan sebagaimana mestinya. Semakin dibendung, semakin menggelundung. Semakin dicegah, semakin melimpah. Semakin dicegat, semakin menyengat. Semakin dimanipulasi, semakin menjadi atraksi.

Sudah kehendak sejarah, akhirnya rangkaian kejadian peristiwa lumpur Lapindo Brantas masuk kategori Bencana Politik Nasional. Minimal sebagai akumulasi bencana (lingkungan + alam + sosial + ekonomi + infrastruktur + .......... ).

Dari antar periode lima tahunan kepemimpinan nasional, mirip perang Diponegoro, akhirnya penanganan kasus Lapindo Brantas menjadi Proyek Politik. Terlebih ada yang memakai cara penjajah Belanda, bahkan lebih cerdas, berklas, sistematis, masif dan berkelanjutan untuk membelenggu nasib rakyat.  


Apa perlu dilombakan, bagai siapa saja yang bisa menuntaskan sampai tuntas, sampai kering lumpur Sidoarjo mendapat hadiah separuh atau setengah wilayah Nusantara. Asal jangan berharap, dengan nilai jual lumpur Lapindo Brantas merasa layak jadi presiden. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar