menggantang asap,
aspirasi, ambisi dan angan-angan
politik Nusantara
Kilas Balik Religi
Seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abdullah bin Mas’ud, pernah memberikan nasihat. “Ada empat hal yang menyebabkan hati manusia menjadi gelap. Yaitu, perut
yang terlalu kenyang, berakrab-akrab dengan orang-orang zalim, melupakan
dosa-dosa masa silam tanpa ada perasaan menyesal. Dan terakhir, panjang
angan-angan.”
Beliau, radhiyallahu‘anhu juga memberikan
nasihat sebaliknya. “Ada empat hal yang
membuat manusia memiliki hati yang terang. Yaitu, adanya kehati-hatian dalam mengisi perut,
bergaul dengan orang-orang yang baik, mengenang
dosa-dosa dengan penuh penyesalan. Dan keempat, pendek angan-angan.”
KBBI
Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tertera
kata kiasan “menggantang
asap”, yang artinya memikirkan (menghendaki) yang bukan-bukan (yang tidak
mungkin akan tercapai).
Kilas Renungan
Kita simak empat hal
di atas, dikaitkan dengan kondisi perpolitikan terkini, dapat disimpulkan :
Pertama, perut kawanan parpolis Nusantara, baik parpol
jebolan Orde Baru maupun parpol kambuhan jelang pesta demokrasi, tak akan
pernah kenyang. Diisi, dijejali, dipadati luberan lumpur Lapindo, tetap belum
mengenyangkan. Masih menyangkut di kerongkongan atau malah baru menjadi slilit
di rongga mulut. Marak dan merebakknya kasus tipikor yang pelaku, aktor
utamanya dari kader partai terbaik semakin membuktikan daya tampung perut.
Kedua, gaya hidup, gengsi dan gaul kawanan parpolis
tergantung ideologi Rp, politik transaksional, kekerabatan politik, politik
balas jasa vs balas budi, perusahaan politik keluarga. Tentunya masih banyak
lagi bentuk dan aliran parpol. Sejak era Reformasi, muncul faham tentang model
kesetiakawanan antar anak bangsa yang haus politik yaitu ‘pagi delé, sore tempé’. Tidak
ada kawan, sekutu abadi, tidak ada lawan, seteru sampai mati. Kepentingan
politik melahirkan koalisi, yang seolah menghadapi musuh bangsa dan negara.
Ketiga, dosa politik tergantung siapa yang menafsirkannya. Dosa
politik Orde Baru, ternyata di era Reformasi didaur ulang, ditampilkan liwat
kemasan baru. Dosa politik Reformasi bisa sebagai resultan dari gabungan dosa
politik Orde Lama dengan dosa politik Orde Baru. Dosa politik semakin nyata dan
terukur, karena kawanan parpolis Nusantara, walau sekaliber pendiri, seklas
ketua umum, tidak ada yang masuk kategori ‘negarawan’.
Keempat, ironis, kawanan parpolis Nusantara, diawali dari penyandang
gelar mantan kepala negara/presiden, bandar politik, kurir politik sampai pihak
yang menyalahgunakan manfaat politik sudah tidak punya cadangan angan-angan. Angan-angan
terkuras habis sebelum diungkapkan apalagi diwujudkan. Berangan-angan saja
sudah tidak mampu, apalagi menyadari apakah panjang angan-angan atau pendek
angan-angan. Mereka cuma terpaku pada angan-angan bahwa negara adalah warisan
orang tua. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar