Halaman

Sabtu, 04 Juli 2015

menggantang asap, aspirasi, ambisi dan angan-angan politik Nusantara

menggantang asap, aspirasi, ambisi dan angan-angan
politik Nusantara


Kilas Balik Religi
Seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abdullah bin Mas’ud, pernah memberikan nasihat. Ada empat hal yang menyebabkan hati manusia menjadi gelap. Yaitu, perut yang terlalu kenyang, berakrab-akrab dengan orang-orang zalim, melupakan dosa-dosa masa silam tanpa ada perasaan menyesal. Dan terakhir, panjang angan-angan.

Beliau, radhiyallahu‘anhu juga memberikan nasihat sebaliknya. Ada empat hal yang membuat manusia memiliki hati yang terang. Yaitu, adanya kehati-hatian dalam mengisi perut, bergaul dengan orang-orang yang baik, mengenang dosa-dosa dengan penuh penyesalan. Dan keempat, pendek angan-angan.

KBBI
Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tertera kata kiasan “menggantang asap”, yang artinya  memikirkan (menghendaki) yang bukan-bukan (yang tidak mungkin akan tercapai).

Kilas Renungan
Kita simak empat hal di atas, dikaitkan dengan kondisi perpolitikan terkini, dapat disimpulkan :

Pertama, perut kawanan parpolis Nusantara, baik parpol jebolan Orde Baru maupun parpol kambuhan jelang pesta demokrasi, tak akan pernah kenyang. Diisi, dijejali, dipadati luberan lumpur Lapindo, tetap belum mengenyangkan. Masih menyangkut di kerongkongan atau malah baru menjadi slilit di rongga mulut. Marak dan merebakknya kasus tipikor yang pelaku, aktor utamanya dari kader partai terbaik semakin membuktikan daya tampung perut.

Kedua, gaya hidup, gengsi dan gaul kawanan parpolis tergantung ideologi Rp, politik transaksional, kekerabatan politik, politik balas jasa vs balas budi, perusahaan politik keluarga. Tentunya masih banyak lagi bentuk dan aliran parpol. Sejak era Reformasi, muncul faham tentang model kesetiakawanan antar anak bangsa yang haus politik yaitu ‘pagi delé, sore tempé’. Tidak ada kawan, sekutu abadi, tidak ada lawan, seteru sampai mati. Kepentingan politik melahirkan koalisi, yang seolah menghadapi musuh bangsa dan negara.

Ketiga, dosa politik tergantung siapa yang menafsirkannya. Dosa politik Orde Baru, ternyata di era Reformasi didaur ulang, ditampilkan liwat kemasan baru. Dosa politik Reformasi bisa sebagai resultan dari gabungan dosa politik Orde Lama dengan dosa politik Orde Baru. Dosa politik semakin nyata dan terukur, karena kawanan parpolis Nusantara, walau sekaliber pendiri, seklas ketua umum, tidak ada yang masuk kategori ‘negarawan’.


Keempat, ironis, kawanan parpolis Nusantara, diawali dari penyandang gelar mantan kepala negara/presiden, bandar politik, kurir politik sampai pihak yang menyalahgunakan manfaat politik sudah tidak punya cadangan angan-angan. Angan-angan terkuras habis sebelum diungkapkan apalagi diwujudkan. Berangan-angan saja sudah tidak mampu, apalagi menyadari apakah panjang angan-angan atau pendek angan-angan. Mereka cuma terpaku pada angan-angan bahwa negara adalah warisan orang tua. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar