Halaman

Jumat, 31 Juli 2015

semarak pilkada serentak : konspirasi internasional vs konspirasi lokal

semarak pilkada serentak : konspirasi internasional vs konspirasi lokal

Kegenitan penyelenggara negara, baik mantan maupun calon, khususnya yang masih aktif menjadi daya tarik internasional, minimal negara tetangga. Mereka suka dielus-elus sampai klimpungan apalagi dielus-elus pakai fulus, senang dipuja-puji dengan segala gaya dan cara, gemar disanjung luar dalam, hobi dihormati dari segala arah dan tujuan – sekaligus alergi kritik, komentar, disindir apalagi dibuka boroknya. Kelamaan tidak ada yang memuji, tanpa sungkan dan malu, ada yang merasa dirinya cerdas, faktor keturunan. Merasa dirinya cantik dan ahli jual air mata tangis. Merasa bapaknya banyak jasa buat bangsa dan negara, sehingga berharap orang memposisikan dirinya sebagai negarawan.

Di era Reformasi ini banyak kutub, kubu, kekuatan, kendali sampai konspirasi yang bermain di Indonesia. Gerakan sparatis di era Orba, ternyata didominasi dalang dan pemodal asing. Gerakan teror di era multipartai dengan mudah, gamblang, terukur bisa terdeteksi sejak dini, namun kalah tanding, kalah canggih, kalah skenario saat mengendus modus operandi gejala pembakaran masjid di kabupaten Tolikara, 17 Juli 2015 tepatnya 1 Syawal 1436H.

Potensi lokasi, posisi, sumber daya alam, sumber daya manusia, perputaran uang, dinamika politik menjadikan kabupaten/kota sebagai perekat Nusantara sekaligus sebagai titik retak persatuan dan kesatuan nasional. Imbas, dampak, ekses, efek domino politik transaksional pesta demokrasi 2014, menjadikan kabupaten/kota menjadi titik rawan, rentan, riskan berbagai intervensi, menjadi obyek konspirasi papan bawah sampai skala dunia.

Indonesia sebagai negara pulau dan kepulauan, masuk skenario asing (termasuk negara yang berbatasan langsung dengan RI) yang berharap banyak presiden. Salah kaprah semangat otonomi daerah, dalam tataran dan tatanan tertentu, memancing syahwat politik untuk mendirikan otonomi negara. Jangan dibilang, dualisme dalam kepengurusan parpol, penguasa tunggal turun temurun dalam parpol, politik sebagai panglima sebagai cikal bakal otonomi negara. Terbukti, orang tidak sabar antri dalam barisan, menyempal membuat barisan sendiri. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar