mental negarawan Nusantara, merasa punya sayap vs merasa punya taring
Jika penguasa tunggal Orde Baru lihai, piawai, pintar
memanfaatkan wong pintar untuk
memagarinya, minimal masuk jajaran pembantu presiden atau orang kepercayaan.
Belum terhitung anak bangsa yang siap pasang badan menjadi tameng hidup. SBY selama
dua periode 2004-2009 dan 2009-2014, dimanfaatkan oleh orang yang pandai-pandai
tampil diri bagaikan emas (padahal loyang). Pandai-pandai bertutur kata dan
menghiba-hiba. Pandai-pandai bersolek dan memanipulasi diri. Pandai-pandai
mendadak alim, merasa dizalimi, jual isak tangis ketika jadi terduga, tersangka
sampai terdakwa.
Maka di periode 2014-2019 banyak anak bangsa tanpa
komando menjadi orang yang pandai-pandai membawa diri dengan tidak memerankan
dirinya sendiri.
Pandai-pandai memainkan berbagai peran, sesuai pesanan
atau risiko logis masuk barisan pendukung, loyalis, walau tidak masuk kategori penjilat.
Pandai-pandai tampil bak jagoan, bak pahlawan
kesiangan, bak kuncing jantan ingin kawin, bukan bak ingin menang sendiri.
Pandai-pandai umbar pendapat berbasis ‘ngomong duluan,
mikir belakangan’, aji mumpung di mimbar membanggakan prestasi nenek moyang.
Pandai-pandai pamer strategi, taktik dan modus
operandi adu domba tanpa malu-malu kucing, apalagi diliput langsung awak media
masa.
Mengacu ramalan leluhur bahwa suatu saat akan terjadi
nuansa kere munggah bale. Ada yang merasa punya sayap, ada yang merasa
punya taring.
Kita tetap yakin bin optimis, karena hidup adalah prosedur,
proses, dan produk tidak sekedar mengalir atau mengulang kehidupan harian, kita mengacu [QS Ar Ra’d (13) : 11] : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Kita hanya terjebak,
terjerat dan terbelunggu waktu lima tahunan. [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar