Halaman

Selasa, 21 Juli 2015

mental negarawan Nusantara, merasa punya sayap vs merasa punya taring

mental negarawan Nusantara, merasa punya sayap vs merasa punya taring

Jika penguasa tunggal Orde Baru lihai, piawai, pintar memanfaatkan wong pintar untuk memagarinya, minimal masuk jajaran pembantu presiden atau orang kepercayaan. Belum terhitung anak bangsa yang siap pasang badan menjadi tameng hidup. SBY selama dua periode 2004-2009 dan 2009-2014, dimanfaatkan oleh orang yang pandai-pandai tampil diri bagaikan emas (padahal loyang). Pandai-pandai bertutur kata dan menghiba-hiba. Pandai-pandai bersolek dan memanipulasi diri. Pandai-pandai mendadak alim, merasa dizalimi, jual isak tangis ketika jadi terduga, tersangka sampai terdakwa.

Maka di periode 2014-2019 banyak anak bangsa tanpa komando menjadi orang yang pandai-pandai membawa diri dengan tidak memerankan dirinya sendiri.
Pandai-pandai memainkan berbagai peran, sesuai pesanan atau risiko logis masuk barisan pendukung, loyalis, walau tidak masuk kategori penjilat.
Pandai-pandai tampil bak jagoan, bak pahlawan kesiangan, bak kuncing jantan ingin kawin, bukan bak ingin menang sendiri.
Pandai-pandai umbar pendapat berbasis ‘ngomong duluan, mikir belakangan’, aji mumpung di mimbar membanggakan prestasi nenek moyang.
Pandai-pandai pamer strategi, taktik dan modus operandi adu domba tanpa malu-malu kucing, apalagi diliput langsung awak media masa.

Mengacu ramalan leluhur bahwa suatu saat akan terjadi nuansa kere munggah bale. Ada yang merasa punya sayap, ada yang merasa punya taring.

Kita tetap yakin bin optimis, karena hidup adalah prosedur, proses, dan produk tidak sekedar mengalir atau mengulang kehidupan harian,  kita mengacu [QS Ar Ra’d  (13) : 11] : Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.


Kita hanya terjebak, terjerat dan terbelunggu waktu lima tahunan. [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar