mental
negarawan Nusantara, ketika Jokowi bukan boss untuk dirinya sendiri
Bapak Pembangunan Suharto sebagai RI-1 ke-2 dikenal
pintar memanfaatkan wong pintar untuk
memagarinya, minimal diposisikan sebagai pembantunya. Hak prerogratif sebagai
presiden untuk mengangkat atau mempromosikan seseorang, terkadang melanggar
aturan main. Justru ini kejelian sekaligus kepiawaiannya.
Cerdas, cerdik dan julig politik pak
Harto yaitu memakai kendaraan Golongan Karya (golkar) sehingga sukses atas
kehendak rakyat menjadi presiden sampai lengser keprabron 21 Mei 1998. Golkar
ganti bentuk menjadi Partai Golkar.
Taktik dan strategi baju hijau yang merasa di
atas angin dalam urusan wawasan Nusantara, mengilhami SBY. Bedanya SBY
mempunyai partai politik yang umur teknisnya hanya dipakai sebagai kendaraan
politik. Setelah itu tergantung pangsa pasar. Kepercayaan SBY memilah dan
memilih komandan di Partai Demokrat, berakhir dengan pengkhianatan nyata.
Jokowi walau terplih jadi presiden RI ke-7,
karena berangkat bukan pemilik sebuah partai politik, akhirnya perjalanan
Nusantara menjadi bulan-bulanan partai politik. Jokowi dikadali hidup-hidup
oleh kawanan bandar parpol pendukungnya. Dianggap sebagai kurir parpol, yang
wajib loyal dan tunduk pada perintah ketua umum parpol. Bandar politik secara
konstitusional memposisikan diri sebagai RI-0, RI-1,5 dan sebagainya.
Beginilah nasib Nusantara, karena Jokowi
tidak mampu menjadi boss untuk dirinya sendiri. Aturan main politik harus
dilakoni siang malam. Ahli, pakar dan pengamat suara tawa orang, meyakini luar
dalam kalau suara tawa Jokowi yang datar dan berulang, menyuratkan dan
menyiratkan ybs sedang mentertawakan dirinya sendiri. Diimbangi bagimana
ekspresi wajah dan gerak mulut saat tertawa. Jika dada Jokowi dibelah, terlihat
berbagai jiwa merasukinya. [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar