Halaman

Sabtu, 18 Juli 2015

mental negarawan Nusantara, ketika Jokowi bukan boss untuk dirinya sendiri

mental negarawan Nusantara, ketika Jokowi bukan boss untuk dirinya sendiri


Bapak Pembangunan Suharto sebagai RI-1 ke-2 dikenal pintar  memanfaatkan wong pintar untuk memagarinya, minimal diposisikan sebagai pembantunya. Hak prerogratif sebagai presiden untuk mengangkat atau mempromosikan seseorang, terkadang melanggar aturan main. Justru ini kejelian sekaligus kepiawaiannya.

Cerdas, cerdik dan julig politik pak Harto yaitu memakai kendaraan Golongan Karya (golkar) sehingga sukses atas kehendak rakyat menjadi presiden sampai lengser keprabron 21 Mei 1998. Golkar ganti bentuk menjadi Partai Golkar.

Taktik dan strategi baju hijau yang merasa di atas angin dalam urusan wawasan Nusantara, mengilhami SBY. Bedanya SBY mempunyai partai politik yang umur teknisnya hanya dipakai sebagai kendaraan politik. Setelah itu tergantung pangsa pasar. Kepercayaan SBY memilah dan memilih komandan di Partai Demokrat, berakhir dengan pengkhianatan nyata.

Jokowi walau terplih jadi presiden RI ke-7, karena berangkat bukan pemilik sebuah partai politik, akhirnya perjalanan Nusantara menjadi bulan-bulanan partai politik. Jokowi dikadali hidup-hidup oleh kawanan bandar parpol pendukungnya. Dianggap sebagai kurir parpol, yang wajib loyal dan tunduk pada perintah ketua umum parpol. Bandar politik secara konstitusional memposisikan diri sebagai RI-0, RI-1,5 dan sebagainya.


Beginilah nasib Nusantara, karena Jokowi tidak mampu menjadi boss untuk dirinya sendiri. Aturan main politik harus dilakoni siang malam. Ahli, pakar dan pengamat suara tawa orang, meyakini luar dalam kalau suara tawa Jokowi yang datar dan berulang, menyuratkan dan menyiratkan ybs sedang mentertawakan dirinya sendiri. Diimbangi bagimana ekspresi wajah dan gerak mulut saat tertawa. Jika dada Jokowi dibelah, terlihat berbagai jiwa merasukinya. [HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar