revolusi mental Nusantara, uji kejiwaan buat oknum ketua umum
parpol
Sudah kehendak sejarah, karakter
politik Nusantara tergantung siapa yang bermukim di balik topeng. Ketua umum
parpol jebolan zaman Orde Baru, sebut saja PDI-P, PPP dan Partai Golongan
Karya, masih mengemban dosa politik turun-temurun. Tidak adanya musuh bangsa
dan negara versi politik, menyebabkan oknum ketum parpol tersebut menjadi
pemakan segala.
Pasca 21 Mei 1998, kebebasan
berdemokrasi semangkin membuktikan bahwa tujuan berpolitik adalah merebut
kekuasaan secara konstitusional liwat pesta demokrasi lima tahunan. Anak bangsa
mendirikan parpol jelang pesta demokrasi, dengan harapan bahwa ketum parpol
mempunyai tiket ke pilpres.
Posisi ketum parpol cukup sakti,
karena hanya dengan restunya, bisa menentukan nasib kader parpol. Siapa yang
akan maju di pilkada, siapa yang bakal calon legislatif kabupaten/kota,
provinsi dan pusat, harus melalui penjaringan dan penyaringan ketum. Persyaratan
administrasi hanya sarat formal belaka. Syarat loyalitas bukan jaminan. Syarat bisa
menguntungkan perusahaan sebagai kategori utama.
Ketika ketum parpol menjadi
penentu nasib siapa yang jadi presiden 2014-2019, peta politik Nasional menjadi
bias dan nyaris dinamis, artinya selalu berubah tanpa kendali, sesuai selera. Tepatnya
banyak sponsor. Jebakan titik kritis tersebar secara sporadis. Susah diprediksi
arah aliran idealisme bangsa dan negara. Posisi dan wewenang ketum parpol
seolah menjadi RI-0, di atas RI-1.
Singkat cerita. Memang kata ilmu
bahwa pikiran, perasaan, ucapan dan tindakan manusia merupakan satu kesatuan mekanisme kejiwaan, sebagai
sistem sehingga antar komponen saling mempengaruhi
dan menentukan. Olah akal, daya nalar, logika, pikiran atau IQ yang muncul pada setiap manusia
politik terjebak
dogma “yang ngomong tidak mikir vs yang mikir tidak ngomong”.
Jadi, bagaimana mensinerjikan otak dan
mulut, yang jaraknya keduanya dekat, bahkan dalam satu kapling yaitu kepala.
Membuka mulut tanpa sensor otak, apa namanya? Olah otak, olah akal, olah pikir, olah
nalar kalau hanya dipendam, diperam, direndam saja apa jadinya?
Jika tersangka kasus kriminal terkadang mendapat tes kejiwaan atau
pihak berwajib menggunakan alat deteksi kebohongan, metode ini perlu
diberlakukan pada ketum parpol. Jelas dan nyata, nasib bangsa, negara dan
rakyat dipertaruhkan selama lima tahun. Kita harus berani belajar dari sejarah
semester pertama Jokowi-JK.[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar