Halaman

Sabtu, 11 Juli 2015

revolusi mental Nusantara, uji kejiwaan buat oknum ketua umum parpol

revolusi mental Nusantara, uji kejiwaan buat oknum ketua umum parpol

Sudah kehendak sejarah, karakter politik Nusantara tergantung siapa yang bermukim di balik topeng. Ketua umum parpol jebolan zaman Orde Baru, sebut saja PDI-P, PPP dan Partai Golongan Karya, masih mengemban dosa politik turun-temurun. Tidak adanya musuh bangsa dan negara versi politik, menyebabkan oknum ketum parpol tersebut menjadi pemakan segala.

Pasca 21 Mei 1998, kebebasan berdemokrasi semangkin membuktikan bahwa tujuan berpolitik adalah merebut kekuasaan secara konstitusional liwat pesta demokrasi lima tahunan. Anak bangsa mendirikan parpol jelang pesta demokrasi, dengan harapan bahwa ketum parpol mempunyai tiket ke pilpres.

Posisi ketum parpol cukup sakti, karena hanya dengan restunya, bisa menentukan nasib kader parpol. Siapa yang akan maju di pilkada, siapa yang bakal calon legislatif kabupaten/kota, provinsi dan pusat, harus melalui penjaringan dan penyaringan ketum. Persyaratan administrasi hanya sarat formal belaka. Syarat loyalitas bukan jaminan. Syarat bisa menguntungkan perusahaan sebagai kategori utama.

Ketika ketum parpol menjadi penentu nasib siapa yang jadi presiden 2014-2019, peta politik Nasional menjadi bias dan nyaris dinamis, artinya selalu berubah tanpa kendali, sesuai selera. Tepatnya banyak sponsor. Jebakan titik kritis tersebar secara sporadis. Susah diprediksi arah aliran idealisme bangsa dan negara. Posisi dan wewenang ketum parpol seolah menjadi RI-0, di atas RI-1.

Singkat cerita. Memang kata ilmu bahwa pikiran, perasaan, ucapan dan tindakan manusia merupakan satu kesatuan mekanisme kejiwaan, sebagai sistem sehingga antar komponen saling mempengaruhi dan menentukan. Olah akal, daya nalar, logika, pikiran atau IQ yang muncul pada setiap manusia politik terjebak dogma “yang ngomong tidak mikir vs yang mikir tidak ngomong”.

Jadi, bagaimana mensinerjikan otak dan mulut, yang jaraknya keduanya dekat, bahkan dalam satu kapling yaitu kepala. Membuka mulut tanpa sensor otak, apa namanya? Olah otak, olah akal, olah pikir, olah nalar kalau hanya dipendam, diperam, direndam saja apa jadinya?


Jika tersangka kasus kriminal terkadang mendapat tes kejiwaan atau pihak berwajib menggunakan alat deteksi kebohongan, metode ini perlu diberlakukan pada ketum parpol. Jelas dan nyata, nasib bangsa, negara dan rakyat dipertaruhkan selama lima tahun. Kita harus berani belajar dari sejarah semester pertama Jokowi-JK.[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar