Pesan Moral Dari Setetes Air
Hujan
oleh : Herwin Nur
Seumur-umur, mungkin kita tidak pernah membayangkan
apalagi mencari fakta dan bukti, bahwa betapa
air layak minum yang kita konsumsi setiap hari, berbahan baku dari air seni
yang kita buang. Secara awam kita cermati siklus hidrologi, bahwa volume dan
kuantitas air di muka bumi tidak berkurang atau relatif tetap. Karena air
mengalami proses daur ulang, dengan cara 3M (Mengurangi, Menggunakan kembali
dan Mendaur ulang atau Reduce, Reuse, Recycle yang sering disebut dengan
istilah 3R).
Pemanfaatan teknologi bukannya tanpa dampak. Biang
penyebab pencemaran udara, mulai akibat asap cerobong industri, emisi gas buang
atau asap knalpot otomotif, asap rokok, asap bakar babat hutan. Perubahan
iklim, pemanasan global, hujan asam, emisi gas rumah kaca sampai isu lingkungan
terkini sebagai pemacu dan pemicu penganekaragaman atau disertifikasi kandungan
kimiawi air hujan yang sampai di permukaan bumi. Pada skala tertentu, tetesan
air hujang bisa masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
Manusia kurang bersyukur atas segala macam rakhmat-Nya dan nikmat-Nya oleh
berbagai sebab. Indonesia dengan musim hujan dan musim kemarau, menjadikan
dalam membaca ayat kauniyah, kurang peka, tidak tanggap, kurang peduli dibanding
dengan umat Islam di negara dengan 4 musim. Hujan dianggap hal yang lumrah
sebagai hukum alam, jika curah hujan menyebabkan banjir, manusia hanya
menggerutu, atau diyakini akibat penggundulan hutan. Musim kering tidak sesuai
jadwal, tidak diambil hikmahnya. Daun gugur pun dianggap kejadian alam belaka.
Allah mengingatkan hamba-Nya akan hakikat air hujan [QS Ar Ruum (67) : 23]
: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia
memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan
Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah
matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang mempergunakan akalnya.”
Bukan berarti di langit terpasang
tandon air yang siap dikucurkan. Justru sesuai siklus hidrologi berbasis proses
daur ulang air, air akan tetap mengucur dari langit berwujud air hujan. Pembentukan
hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke
udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat. Mengacu hadits berisi anjuran rasulullah saw : “Janganlah
kamu kencing di air yang tidak mengalir kemudian kamu berwudhu dari situ.”
(HR Ahmad dan Tirmidzi).
Selain ayat di atas, masih banyak
ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan proses terjadinya hujan. Khususnya di [QS
Al Hijr (15) : 22] : “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan
(tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum
kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.”
Ayat ini ditekankan bahwa fase pertama proses pembentukan hujan adalah
angin. sampai awal abad ke XX, pengetahuan utama hubungan antara angin dan hujan yang diketahui
hanyalah bahwa angin yang menggerakkan awan. Namun penemuan ilmu meteorologi
modern telah menunjukkan peran “mengawinkan” dari angin dalam
pembentukan hujan.
Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu
khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna,
pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya – meskipun
dalam shalat - kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah
selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika
turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah
hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].” (sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-shalih-saat-turun-hujan.html).
Secara alami hujan memang bersifat asam dengan pH antara
5,6 sampai 6,2 karena adanya kandungan CO2 di udara. CO2 di udara bereaksi
dengan uap air membentuk asam lemah yaitu asam karbonat (H2CO3). Namun keasaman
yang disebabkan oleh H2CO3 ini dianggap normal karena jenis asam ini bermanfaat
membantu melarutkan mineral tanah yang dibutuhkan oleh flora dan fauna. Berbeda
dengan H2SO4 dan HNO3 yang merupakan asam kuat yang dapat merusak jaringan
hidup. hujan asam adalah hujan dengan pH air kurang dari 5,7 sedangkan pH
normal air 7. Dampak negatif hujan asam menjadi kajian tersendiri.
Fakta lain yang diberikan dalam Al Qur’an mengenai hujan adalah bahwa hujan
diturunkan ke bumi dalam kadar tertentu. Hal ini disebutkan dalam di [QS Az
Zukhruf (43) : 11] : “Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang
diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah
kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).”
‘Kadar (yang diperlukan)’ dalam hujan ini pun sekali lagi telah
ditemukan melalui penelitian modern. Diperkirakan
dalam satu detik, sekitar 16 juta ton air menguap dari bumi. Angka ini
menghasilkan 513 trilyun ton air per tahun. Angka ini ternyata sama dengan
jumlah hujan yang jatuh ke bumi dalam satu tahun. Hal ini berarti air
senantiasa berputar dalam suatu siklus yang seimbang menurut “ukuran atau
kadar” tertentu. Kehidupan di bumi bergantung pada siklus air ini. Bahkan
sekalipun manusia menggunakan semua teknologi yang ada di dunia ini, mereka
tidak akan mampu membuat siklus seperti ini ( sumber : https://otakmaths. wordpress.com/ ).
Walhasil, jangan sampai setetes air
hujan dari langit sebagai bagain dari hujan asam, sebagai B3, terlebih jangan
sampai Allah akan menghentikan turunnya hujan karena kelakuan
kita (jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat). [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar