Halaman

Senin, 10 November 2014

Pesan Moral Dari Setetes Air Hujan

Pesan Moral Dari Setetes Air Hujan
oleh : Herwin Nur

Seumur-umur, mungkin kita tidak pernah membayangkan apalagi mencari fakta dan bukti,  bahwa betapa air layak minum yang kita konsumsi setiap hari, berbahan baku dari air seni yang kita buang. Secara awam kita cermati siklus hidrologi, bahwa volume dan kuantitas air di muka bumi tidak berkurang atau relatif tetap. Karena air mengalami proses daur ulang, dengan cara 3M (Mengurangi, Menggunakan kembali dan Mendaur ulang atau Reduce, Reuse, Recycle yang sering disebut dengan istilah 3R).

Pemanfaatan teknologi bukannya tanpa dampak. Biang penyebab pencemaran udara, mulai akibat asap cerobong industri, emisi gas buang atau asap knalpot otomotif, asap rokok, asap bakar babat hutan. Perubahan iklim, pemanasan global, hujan asam, emisi gas rumah kaca sampai isu lingkungan terkini sebagai pemacu dan pemicu penganekaragaman atau disertifikasi kandungan kimiawi air hujan yang sampai di permukaan bumi. Pada skala tertentu, tetesan air hujang bisa masuk kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).

Manusia kurang bersyukur atas segala macam rakhmat-Nya dan nikmat-Nya oleh berbagai sebab. Indonesia dengan musim hujan dan musim kemarau, menjadikan dalam membaca ayat kauniyah, kurang peka, tidak tanggap, kurang peduli dibanding dengan umat Islam di negara dengan 4 musim. Hujan dianggap hal yang lumrah sebagai hukum alam, jika curah hujan menyebabkan banjir, manusia hanya menggerutu, atau diyakini akibat penggundulan hutan. Musim kering tidak sesuai jadwal, tidak diambil hikmahnya. Daun gugur pun dianggap kejadian alam belaka.

Allah mengingatkan hamba-Nya akan hakikat air hujan [QS Ar Ruum (67) : 23] : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.”

Bukan berarti di langit terpasang tandon air yang siap dikucurkan. Justru sesuai siklus hidrologi berbasis proses daur ulang air, air akan tetap mengucur dari langit berwujud air hujan. Pembentukan hujan berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, “bahan baku” hujan naik ke udara, lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat. Mengacu hadits berisi anjuran rasulullah saw : “Janganlah kamu kencing di air yang tidak mengalir kemudian kamu berwudhu dari situ.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Selain ayat di atas, masih banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan proses terjadinya hujan. Khususnya di [QS Al  Hijr (15) : 22] : Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.”

Ayat ini ditekankan bahwa fase pertama proses pembentukan hujan adalah angin. sampai awal abad ke XX, pengetahuan utama  hubungan antara angin dan hujan yang diketahui hanyalah bahwa angin yang menggerakkan awan. Namun penemuan ilmu meteorologi modern telah menunjukkan peran “mengawinkan” dari angin dalam pembentukan hujan.

Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, ”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan (yang belum berkumpul sempurna, pen) di salah satu ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya – meskipun dalam shalat - kemudian beliau kembali melakukannya lagi (jika hujan sudah selesai, pen). Ketika awan tadi telah hilang, beliau memuji Allah. Namun, jika turun hujan, beliau mengucapkan, “Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah jadikanlah hujan ini sebagi hujan yang bermanfaat].” (sumber : http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/amalan-shalih-saat-turun-hujan.html).

Secara alami hujan memang bersifat asam dengan pH antara 5,6 sampai 6,2 karena adanya kandungan CO2 di udara. CO2 di udara bereaksi dengan uap air membentuk asam lemah yaitu asam karbonat (H2CO3). Namun keasaman yang disebabkan oleh H2CO3 ini dianggap normal karena jenis asam ini bermanfaat membantu melarutkan mineral tanah yang dibutuhkan oleh flora dan fauna. Berbeda dengan H2SO4 dan HNO3 yang merupakan asam kuat yang dapat merusak jaringan hidup. hujan asam adalah hujan dengan pH air kurang dari 5,7 sedangkan pH normal air 7. Dampak negatif hujan asam menjadi kajian tersendiri.

Fakta lain yang diberikan dalam Al Qur’an mengenai hujan adalah bahwa hujan diturunkan ke bumi dalam kadar tertentu. Hal ini disebutkan dalam di [QS Az Zukhruf (43) : 11] :  “Dan Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan dikeluarkan (dari dalam kubur).”

Kadar (yang diperlukan)’ dalam hujan ini pun sekali lagi telah ditemukan melalui penelitian modern. Diperkirakan dalam satu detik, sekitar 16 juta ton air menguap dari bumi. Angka ini menghasilkan 513 trilyun ton air per tahun. Angka ini ternyata sama dengan jumlah hujan yang jatuh ke bumi dalam satu tahun. Hal ini berarti air senantiasa berputar dalam suatu siklus yang seimbang menurut “ukuran atau kadar” tertentu. Kehidupan di bumi bergantung pada siklus air ini. Bahkan sekalipun manusia menggunakan semua teknologi yang ada di dunia ini, mereka tidak akan mampu membuat siklus seperti ini ( sumber : https://otakmaths. wordpress.com/ ).


Walhasil, jangan sampai setetes air hujan dari langit sebagai bagain dari hujan asam, sebagai B3, terlebih jangan sampai Allah akan menghentikan turunnya hujan karena kelakuan kita (jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat). [HaeN].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar