Halaman

Jumat, 28 November 2014

Makan Singkong Sambil Mikir Negara

Makan Singkong Sambil Mikir Negara
oleh : Herwin Nur

Ketika uang recehan seratus rupiah bisa ditukar sebuah gorengan, maka saat rapat birokrasi yang mengundang unsur bukan plat merah, di piring tersaji aneka ragam gorengan. Singkong goreng menjadi favorit, karena lunak, tanpa lemak,  dan mengenyangkan. Jika rapat berakhir siang hari, menu makan siang adalah pesan dari rumah makan Padang. Peserta rapat bisa pesan sesuai selera, lauk bisa dua. Kondisi zaman tersebut masih kondusif untuk hidup sederhana. Ruang rapat, peralatan rapat masih tergolong sederhana atau apa adanya. Jangan dikira peserta rapat berkeringat karena peras otak, adu pendapat, silat lidah, berpeluh karena ruangan melebihi kapisitas.

Ketika gorengan tergerus revolusi mental, abang tukang jual gorengan menyiasati dengan menyajikan singkong goreng dalam bentuk potongan kecil memanjang. Roti sumbu tersaji dengan kemasan berbeda, atraktif dan harga terjangkau, dijual tidak per butir. Mulut peserta rapat sibuk, antara sibuk sumbang suara dengan sibuk kunyah singkong goreng. Piring penuh onggokan singkong goreng ludes sebelum rapat menghasilkan kesimpulan. Asupan gizi singkong menjadkan daya pikir peserta rapat mengalami penghematan. Semula diharapkan memberikan masukan yang fungsional, dapat dilaksanakan, tepat guna, tepat saran, serta sesuai asas manfaat. Walhasil, memang rapat berlangsung sesuai agenda. Namun risalah rapat membuat PR baru. Jangan-jangan, rapat diulang 2-3 kali baru berhasil sesuai rencana dan harapan.

Ketika pengawet, perasa, pewarna menjadi campuran jajanan pasar yang menimbulkan korban atau berdampak secara sistemik, masif dan berkelanjutan, abang tukang jual gorengan tak kehilangan akal. Rasa renyah gorengan didapat dengan metode sederhana. Saat menuang minyak goreng curah ke wajan yang sedang dipakai menggoreng, plastik kemasan ikut digoreng. Trik ini menjadikan gorengan renyah dikunyah dan kriuk digigit. Jangan disalahkan kalau wong cilik meniru kelakukan wong gede. Jangan sampai peserta rapat membawa bekal sendiri atau titip dibelikan makanan pakai uang sendiri.

Ketika rapat membahas laporan jasa konsultasi, dibutuhkan enerji yang ekstra. Sajian setiap tahapan pelaporan sudah ada pakemnya, sudah ada rukunnya, sudah ada aturan main substansi apa saja yang ditulis. Konsultan selama melaksanakan tugas, wajib melakukan konsultasi dengan Tim Teknis yang dibentuk pengguna jasa. Pihak yang berkepentingan dengan hasil Konsultan, saat rapat bahas laporan, akan membantai habis-habisan kandungan laporan. Rapat tidak sekedar formalitas sesuai jadwal atau untuk mencairkan anggaran. Semangat rapat terjaga karena amunisi yang disajikan berklas, nyaris bermartabat. Panitia tinggal pesan, amunsi diantar. Peserta rapat bisa ‘isi ulang’ minuman, sesuai selera. Jadi, kalau sekedar sumbang suara, peserta rapat malu. Bahkan jadwal rapat molor, asupan gizi mengalir terus. Jangan membayangkan kalau rapat diadakan di luar kantor. Memakai ruang rapat kelas VIP, harus antri dan dibatasi waktunya. Jangan-jangan mengurus negara dengan modal singkong hasilnya kentut.

Ketika singkong menjadi hidangan wajib rapat pegawai negeri, jangan-jangan hasil rapat sudah bisa dibacakan di awal rapat. Penghematan anggaran berdampak pada penghematan kontribusi pegawai, berdampak pada penghematan kinerja institusi. Pegawai negeri mengalami revolusi mental secara total, mentalnya menjadi mental singkong !!! [HaeN]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar