Makan Singkong Sambil Mikir Negara
oleh : Herwin
Nur
Ketika uang recehan
seratus rupiah bisa ditukar sebuah gorengan, maka saat rapat birokrasi yang
mengundang unsur bukan plat merah, di piring tersaji aneka ragam gorengan.
Singkong goreng menjadi favorit, karena lunak, tanpa lemak, dan mengenyangkan. Jika rapat berakhir siang
hari, menu makan siang adalah pesan dari rumah makan Padang. Peserta rapat bisa
pesan sesuai selera, lauk bisa dua. Kondisi zaman tersebut masih kondusif untuk
hidup sederhana. Ruang rapat, peralatan rapat masih tergolong sederhana atau
apa adanya. Jangan dikira peserta rapat berkeringat karena peras otak, adu
pendapat, silat lidah, berpeluh karena ruangan melebihi kapisitas.
Ketika gorengan
tergerus revolusi mental, abang tukang jual gorengan menyiasati dengan
menyajikan singkong goreng dalam bentuk potongan kecil memanjang. Roti sumbu
tersaji dengan kemasan berbeda, atraktif dan harga terjangkau, dijual tidak per
butir. Mulut peserta rapat sibuk, antara sibuk sumbang suara dengan sibuk
kunyah singkong goreng. Piring penuh onggokan singkong goreng ludes sebelum
rapat menghasilkan kesimpulan. Asupan gizi singkong menjadkan daya pikir
peserta rapat mengalami penghematan. Semula diharapkan memberikan masukan yang
fungsional, dapat dilaksanakan, tepat guna, tepat saran, serta sesuai asas
manfaat. Walhasil, memang rapat berlangsung sesuai agenda. Namun risalah rapat
membuat PR baru. Jangan-jangan, rapat diulang 2-3 kali baru berhasil sesuai
rencana dan harapan.
Ketika pengawet,
perasa, pewarna menjadi campuran jajanan pasar yang menimbulkan korban atau
berdampak secara sistemik, masif dan berkelanjutan, abang tukang jual gorengan
tak kehilangan akal. Rasa renyah gorengan didapat dengan metode sederhana. Saat
menuang minyak goreng curah ke wajan yang sedang dipakai menggoreng, plastik
kemasan ikut digoreng. Trik ini menjadikan gorengan renyah dikunyah dan kriuk
digigit. Jangan disalahkan kalau wong cilik meniru kelakukan wong gede. Jangan
sampai peserta rapat membawa bekal sendiri atau titip dibelikan makanan pakai
uang sendiri.
Ketika rapat
membahas laporan jasa konsultasi, dibutuhkan enerji yang ekstra. Sajian setiap
tahapan pelaporan sudah ada pakemnya, sudah ada rukunnya, sudah ada aturan main
substansi apa saja yang ditulis. Konsultan selama melaksanakan tugas, wajib
melakukan konsultasi dengan Tim Teknis yang dibentuk pengguna jasa. Pihak yang
berkepentingan dengan hasil Konsultan, saat rapat bahas laporan, akan membantai
habis-habisan kandungan laporan. Rapat tidak sekedar formalitas sesuai jadwal
atau untuk mencairkan anggaran. Semangat rapat terjaga karena amunisi yang
disajikan berklas, nyaris bermartabat. Panitia tinggal pesan, amunsi diantar.
Peserta rapat bisa ‘isi ulang’ minuman, sesuai selera. Jadi, kalau sekedar
sumbang suara, peserta rapat malu. Bahkan jadwal rapat molor, asupan gizi
mengalir terus. Jangan membayangkan kalau rapat diadakan di luar kantor. Memakai
ruang rapat kelas VIP, harus antri dan dibatasi waktunya. Jangan-jangan
mengurus negara dengan modal singkong hasilnya kentut.
Ketika singkong
menjadi hidangan wajib rapat pegawai negeri, jangan-jangan hasil rapat sudah
bisa dibacakan di awal rapat. Penghematan anggaran berdampak pada penghematan
kontribusi pegawai, berdampak pada penghematan kinerja institusi. Pegawai
negeri mengalami revolusi mental secara total, mentalnya menjadi mental
singkong !!! [HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar