Halaman

Senin, 03 November 2014

Paket Khusus Revolusi Mental untuk Kawanan Wakil Rakyat KIH


 Ditulis : Herwin Nur 02 November 2014 | 12:53
Kandungan moral politik versi Reformasi pasca SBY mengalami degradasi secara sistematis, mewabah dan membentuk model.Muatanmental sudah memasuki kuadran syahwat politik dengan makna merebut dan membagi kekuasaan pemerintahan yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Politik transaksional berupa bagi hasil, balas jasa dan balas budi dengan sistem ijon, no free lunch, menjadi ikatan moral tim transisi, relawan, pasukan bolodupak yang mendasari terbentukanya Kabinet Kerja.
Revolusi Mental dan semangat Trisakti yang menjadi andalan kampanye Jokowi-JK ternyata menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang. Perilaku Koalisi Indonesia Hebat (KIH) plus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang menyatakan mosi tidak percaya pada pimpinan DPR 2014-2019, sebagai tindakan politis yang justru pamer penyakit bodoh politik Artinya, rakyat yang buta politikpun, sudah faham dan mahfum bahwa asas tripartiet atau triaspolitika akan jalan jika tidak ada dominasi legislaif, atau tidak ada dominasi parpol dalam sistem pemerintahan.
Sejauh ini tidak ada ahli, pakar maupun pengamat politik apalagi lembaga survei yang berani menyimpulkan pelajaran politik yang bisa diserap dari pilpres 2004 dan 2009. Megawati sebagai presiden petahana ikut pilpres 2004 dan SBY sebagai presiden pertahana maju lagi di pilpres 2009. Hasilnya sangat kontradiktif. Megawati merasa selalu dicurangi hingga kalah, bahkan merasa kalah ganteng dengan pasangan negara sebelah, kilahnya. Namun mbokde Mega sangat merasa tersanjung saat Mukernas PDIP di Semarang, Jokowi mengusulkan dirinya untuk menjadi ketua umum periode mendatang. PDIP menjadi perusahaan politik trah Soekarno. Jabatan tertinggi yang bisa diraih politisi pendatang adalah sekjen, itupun kalau garis tangannya berciri guratan nasib sesuai petunjuk bunda.
PDIP memilih jadi oposisi banci, oposisi setengah hati selama periode SBY. Tidak mau jabatan pembantu presiden, tidak mau masuk jajaran eksekutif atau birokrasi, namun getol meraih kursi gubenur dan bupati/walikota. Secara hukum, gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah di daerah. Jabatan Ketua MPR 2009-2014, dianggap PDIP sebagai jatah atau haknya.
Keluar sebagai pemenang tunggal dalam pesta demokrasi pemilu legisltif 9 April 2014, PDIP malah menunjukkan isi perutnya, bukan kadar otaknya. Ketika pekerja partai atau orang suruhan PDIP menang telak dalam pilpres 9 Juli 2014, PDIP semangkin menunjukkan jati dirinya. Bukan sekedar transisi, malah berkebalikan 180o. 2014-2019 barisan banteng moncong putih menjalankan peran bak polisi. Tepatnya ibarat dari bonek menjadi pemain.
Blusukan PDIP terlihat dalam pembentukan Kabinet Kerja. Semakin anak Ketum PDIP membantah dirinya bukan sebagai menteri titipan atau menteri sisipan, semakin membuktikan kebenaran logika poltik. Orang lupa, penempatan perwakilan 8 kaum Hawa di Kabinet Kerja sebagai strategi sederhana Jokowi-JK untuk membuktikan kinerja ada tidaknya menteri titipan/sisipan. Karena wujud nyata kabinet transaksional tidak perlu diperdebatkan,sudah transparan ‘siapa mendapat apa’. Sudah terbaca sejak masih dalam kandungan. Usulan nama calon menteri yang diusulkan rakyat melalui teknologi informasi dan komunikasi, bukan sekedar formalitas atau wacana keterbukaan.
Langkah KIH plus mendirikan DPR tandingan, DPR sandingan karena kalah dalam pembentukan kabinet DPR dan MPR, membuktikan tidak siap menang. Tidak siap jadi wakil rakyat yang terhormat. Kepercayaan rakyat dibalas dengan air tuba. Habis disumpah dan dilantik jadi wakil rakyat, sifat amanah dibuang ke keranjang sampah. Muncul watak asli berbasis serakah. Rakyat jangan membayangkan apa jadinya di periode 2014-2019.Sebelum Jokowi-JK menerapkan pil revolusi mental, ternyata harus diujicobakan terlebih dahulu ke kawanan wakil rakyat KIH plus[HaeN/wasathon.com].



Tidak ada komentar:

Posting Komentar