Rabu, 04/12/2002
07:54
BAHWA KITA TIDAK
HIDUP SENDIRIAN
Rumah tinggal kita
sudah melampaui daya dukung dan daya tampungnya. Para penghuninya sudah semakin
gerah, berakhir saling sodok-menyodok untuk memperoleh ruang dan peluang untuk
bergerak. Udara segar menjadi barang langka sehingga mereka sulit berfikir
secara jernih dan masuk akal. Dari sisi lain segala kebutuhan dan keperluan
invidu atau perorangan harus dipenuhi secara arif dan bijak, kalau tidak akan
berurusan dengan hak asasi manusia. Menyadari kondisi ini maka selaku kepala keluarga
merasa mempunyai kewajiban untuk mengadakan penyesuaian fisik bangunan
seperlunya.
Perubahan mendasar
bukan pada membongkar pondasi bangunan. Alternatif utama yaitu pondasi induk
tetap dipertahankan, perkuatan dapat dilakukan disekitarnya dengan membangun
pondasi bantu. Kemungkinan lain yaitu ruang-ruang yang ada dijadikan multi
fungsional. Pengoptimalan manfaat dan fungsi bangunan dengan pola kebersamaan
dalam pola 24 jam sehari semalam. Wujud asli dan karakteristik bangunan masih
bisa dipertahankan dalam nuansa keanekaragaman penghuninya. Paling tidak ide
awal yang melatarbelakangi didirikannya bangunan rumah tinggal kita tidak
mengalami degradasi. Perombakan bersifat dinamis sesuai kebutuhan dan tantangan
zaman.
Bagaimana dengan
bangsa dan negara kita? Berbagai kepentingan harus diakomodir secara arif dan
bijak yang dituangkan kedalam UUD 1945. Berbagai kepentingan anak bangsa yang
heterogen harus disatukan secara proporsional tanpa meninggalkan rambu-rambu
persatuan dan kesatuan. Memang sulit meramalkan masa depan bangsa dari Sabang
sampai Merauke jika para penyelenggara negara hanya memakmurkan ambisinya.
Aral melintang
menghadang karena kesalahan kita dalam mempolitisir segala urusan kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Semangat untuk "menyesuaikan"
UUD 1945 dengan tuntutan dan tantangan zaman dibuktinyatakan oleh Bung Amien
Rais bersama pasukannya, dalam rangkaian amandemen atas UUD RI tahun 1945 yang
telah dituntaskan dengan ditetapkannya amandemen ke-4 pada Sidang Tahunan
MPR-RI, Agustus 2002.
Entah siapa kini yang
bisa bernafas lega atau semakin gerah karena adanya berbagai batasan. Dengan
amandemen terdapat tambahan 5 bab; 36 pasal; 121 ayat; serta 1 Aturan Peralihan
dan 2 ayat Aturan Tambahan - maka secara kuantitas harus sudah bisa
mengakomodir berbagai kepentingan jangka panjang, bukan kepentingaan sesaat
apalagi kepentingan sesat. Pembukaan UUD 1945 memang tidak diotak-atik, masih
seperti perawannya walau tetap rawan terhadap ulah tangan-tangan jahil dan
itikad bak bangsa jahiliah.
Masih terbuka
kesempatan bagi para petualang untuk mencari celah dan lubang dalam UUD 1945
untuk kepentingannya. Kalau kita tidak memikirkan diri sendiri siapa lagi yang
akan memikirkannya, siapa ada yang mau memikirkan nasib kita!
Apa menunggu runtuhnya
wahyu cakraningrat, mengharap munculnya satria piningit, atau menggapai bisikan
wangsit dari kuburan yang belum tergusur. Ternyata kita tidak hidup sendirian.
Lihat di sekeliling kita - mereka - yang nasibnya lebih terhempas, dari itu
kita rasanya baru bisa bersyukur dan wajib bersyukur. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar