Halaman

Minggu, 09 November 2014

BAHWA KITA TIDAK HIDUP SENDIRIAN

Beranda » Berita » Opini
Rabu, 04/12/2002 07:54

BAHWA KITA TIDAK HIDUP SENDIRIAN

Rumah tinggal kita sudah melampaui daya dukung dan daya tampungnya. Para penghuninya sudah semakin gerah, berakhir saling sodok-menyodok untuk memperoleh ruang dan peluang untuk bergerak. Udara segar menjadi barang langka sehingga mereka sulit berfikir secara jernih dan masuk akal. Dari sisi lain segala kebutuhan dan keperluan invidu atau perorangan harus dipenuhi secara arif dan bijak, kalau tidak akan berurusan dengan hak asasi manusia. Menyadari kondisi ini maka selaku kepala keluarga merasa mempunyai kewajiban untuk mengadakan penyesuaian fisik bangunan seperlunya.

Perubahan mendasar bukan pada membongkar pondasi bangunan. Alternatif utama yaitu pondasi induk tetap dipertahankan, perkuatan dapat dilakukan disekitarnya dengan membangun pondasi bantu. Kemungkinan lain yaitu ruang-ruang yang ada dijadikan multi fungsional. Pengoptimalan manfaat dan fungsi bangunan dengan pola kebersamaan dalam pola 24 jam sehari semalam. Wujud asli dan karakteristik bangunan masih bisa dipertahankan dalam nuansa keanekaragaman penghuninya. Paling tidak ide awal yang melatarbelakangi didirikannya bangunan rumah tinggal kita tidak mengalami degradasi. Perombakan bersifat dinamis sesuai kebutuhan dan tantangan zaman.

Bagaimana dengan bangsa dan negara kita? Berbagai kepentingan harus diakomodir secara arif dan bijak yang dituangkan kedalam UUD 1945. Berbagai kepentingan anak bangsa yang heterogen harus disatukan secara proporsional tanpa meninggalkan rambu-rambu persatuan dan kesatuan. Memang sulit meramalkan masa depan bangsa dari Sabang sampai Merauke jika para penyelenggara negara hanya memakmurkan ambisinya.

Aral melintang menghadang karena kesalahan kita dalam mempolitisir segala urusan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Semangat untuk "menyesuaikan" UUD 1945 dengan tuntutan dan tantangan zaman dibuktinyatakan oleh Bung Amien Rais bersama pasukannya, dalam rangkaian amandemen atas UUD RI tahun 1945 yang telah dituntaskan dengan ditetapkannya amandemen ke-4 pada Sidang Tahunan MPR-RI, Agustus 2002.

Entah siapa kini yang bisa bernafas lega atau semakin gerah karena adanya berbagai batasan. Dengan amandemen terdapat tambahan 5 bab; 36 pasal; 121 ayat; serta 1 Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan - maka secara kuantitas harus sudah bisa mengakomodir berbagai kepentingan jangka panjang, bukan kepentingaan sesaat apalagi kepentingan sesat. Pembukaan UUD 1945 memang tidak diotak-atik, masih seperti perawannya walau tetap rawan terhadap ulah tangan-tangan jahil dan itikad bak bangsa jahiliah.

Masih terbuka kesempatan bagi para petualang untuk mencari celah dan lubang dalam UUD 1945 untuk kepentingannya. Kalau kita tidak memikirkan diri sendiri siapa lagi yang akan memikirkannya, siapa ada yang mau memikirkan nasib kita!

Apa menunggu runtuhnya wahyu cakraningrat, mengharap munculnya satria piningit, atau menggapai bisikan wangsit dari kuburan yang belum tergusur. Ternyata kita tidak hidup sendirian. Lihat di sekeliling kita - mereka - yang nasibnya lebih terhempas, dari itu kita rasanya baru bisa bersyukur dan wajib bersyukur. (hn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar