Halaman

Senin, 24 November 2014

Minimalisasi Efek Dan Dampak Mudharat Dari Ibadah Kita

Minimalisasi Efek Dan Dampak Mudharat Dari Ibadah Kita


Manusia wajib berusaha, perkara hasil menjadi hak prerogratif Allah. Manusia merencanakan masa depan dan perjalanan hidupnya sesuai perjalanan waktu. Sasaran yang ingin diraih, target yang ingin dicapai, harapan yang ingin diperoleh, kondisi yang ingin  diwujudkan, ada yang terukur (biasanya di bidang pendidikan, bekerja, berkeluarga) atau sesuai perkembangan, tuntutan dan tantangan zaman. Kata-kata bijak Bung Karno :  "Gantungkan cita-citamu setinggi langit! Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.", artinya, betapa proses hidup adalah fungsi cita-cita.

Saat melakoni hidup, untuk urusan dunia maupun urusan akhirat, di atas kertas kita sudah mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Teori yang akan kita pakai dan terapkan sudah teruji oleh orang lain. Bahkan ilmu yang mendasari tindakan kita, masuk bilangan ilmu mutakhir. Namun, kita sebagai manusia tempatnya lupa, lalai, alpa, bahkan khilaf. Kita tak punya ilmu mengevaluasi diri sejak dini. Bahkan deretan gelar akademis, di depan/di belakang nama, bisa lebih panjang dari nama kita, tidak ada jaminan kita bisa melakukan “ngilo githoke dhewe” (bahasa Jawa, arti harafiah : bercermin pada tengkuk sendiri). Ungkapan ini mengajarkan agar setiap orang mau mawas diri, tepatnya mau mengevaluasi diri sejak dini.

Secara matematis manusia tidak bisa mengkalkulasi apa saja perolehan hari ini, apakah raihan sesuai rencana, apakah kualitas hidup hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Secara manusiawi, bahkan tidak menyadari apakah segala tindakan dan ucapannya malah menambah argo dosa atau di sisi keyakinan apakah gerakan ritualnya bisa-bisa bisa menggerogoti saldo amal.

Kita sebagai hamba Allah, saat-saat sibuk urusan dunia, sesekali tentu dalam hati ingin melihat ke belakang, khususnya pada apa saja yang telah kita lakukan. Rasulullah SAW bersabda :
“Orang yang beruntung adalah orang yang menghisab dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsu serta berangan-angan terhadap Allah Subhanahu Wata’ala.” (HR Turmudzi).

Hadits di atas menyiratkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah skenario besar seorang hamba, dalam menggapai Ridho dan Rahmat-Nya. Dalam menjalankan skenario besar tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir sebagai fokus utama yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.

Diperlukan ilmu, metoda dan adab dalam menghisab diri. Kita tidak perlu menunggu waktu baik, bulan baik untuk evaluasi diri, atau setelah ada kejadian yang tidak sesuai harapan, mengalami peristiwa yang tidak diinginkan, kenyataan hidup berkata lain, baru sadar. Hubungan kerja, interaksi sosial, reaksi lingkungan, sampai tahapan persaingan bebas bisa menjadi sarana untuk evaluasi diri.

Untuk urusan dunia, fiman Allah yang berlaku sepanjang zaman,  diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Huud (11) : 15] :  Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”

Jadi, bukan salah bunda mengandung, jika sampai sekarang masih ada manusia bekerja untuk meraih kenikmatan duniawi, merasakan surga dunia. Banyak jalan dan cara untuk mewujudkan cita-cita dan ambisi pribadi. Keberhasilan hidup diukur dari perolehan duniawi. Sukses dunia didaulat sebagai hasil kerja kerasnya.

Uraian di atas, bukan berarti kita punya cita-cita relijius. Ibadah rutin harian sampai ibadah sekali selama seumur hidup, kita lakukan secara total. Menghadapi puasa Ramadhan, kita sibuk mempersiapkan diri. Terlebih untuk menyambut akhir Ramadahan atau 1 Syawal. Sebagai mustahik, menabung setahun, saatnya untuk berqurban seekor kambing. Menabung, seumur-umur agar bisa memenuhi panggilan Allah dan sebagai tamu-Nya. Sebagai orang tua menyiapkan anaknya sebagai ahli masjid. Menjadikan rumah tinggal sebagai sekolah dan madrasah pertama dan utama.

Sejauh yang kita lakukan, yang kita kerjakan, sejauh langkah kita, nampaknya situasi aman-aman saja, jalan lurus-lurus saja, suasana adem-ayem, tidak ada masalah yang timbul. Kita terjebak, terkecoh oleh lingkungan. Kita tak merasa telah memasuki daerah abu-abu atau memasuki perkara syubhat. Atau kita tak sadar telah menyalahgunakan, telah memplesetkan makna  hadits, sabda Rasulullah : ”wa antum a’lamu bi amri dunyakum,“ (“dan kamu sekalian lebih mengetahui urusan-urusan duniamu” (HR Muslim). Untuk urusan dunia kita berlakukan pasal bebas aktif, pasal hantam kromo, pasal babat habis, pasal kuras tuntas.

Kisah Fir’aun (Fir'aun adalah gelar bagi raja-raja Mesir purbakala. Menurut sejarah, Fir'aun di masa Nabi Musa a.s. ialah Menephthah (1232-1224 S.M.) anak dari Ramses) yang diabadikan dalam Al-Qur’an, menyuratkan sekaligus menyiratkan bahwa Fir’aun sebagai raja bukannya tanpa prestasi bagi bangsanya saat itu. Bahkan kinerja Fir’aun masuk bursa sejarah peradaban dunia.

Kisah Fir’aun menambah wawasan kita bahwa iman dan perbuatan baik atau buruk seseorang tidak tergantung kepada iman dan perbuatan orang lain, walaupun dalam ikatan suami-isteri, seperti isteri Fir’aun. Di kondisi lain, Allah berjanji kepada orang mukmin, tersurat di [QS At Taubah (9) : 71] : “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” Artinya, dalam urusan akhirat, lelaki dan perempuan mempunyai kedudukan, peran, wewenang dan tanggung jawab yang setara.

Ibadah yang kita tegakkan, tanpa ilmu agama, setelah sekian tahun, sekian periode, atau setelah kita tiada, bisa-bisa meninggalkan efek dan dampak mudharat (mudharat sekecil apa pun). Mudharat bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi lingkungan atau bahkan bisa bagi sistem. [HaeN]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar