Mewujudkan
Kawanan Parpolis Sehat, Cerdas Dan Berjiwa Nasionalis
Pengamat Politik Universitas
Indonesia, Muhammad Budyatna (MB) mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak
terlalu paranoid terhadap Koalisi Merah Putih (KMP). Presiden Jokowi,
menurutnya justru seharusnya lebih khawatir pada jajaran internal partai-partai
pendukungnya dan juga Wapres Jusuf Kalla yang siap mengambil posisi Jokowi
sebagai presiden. Jokowi sekarang justru harus lebih khawatir pada KIH (Koalisi
Indonesia Hebat) daripada KMP. Kalau KMP jelas posisinya sebagai lawan, tapi
KIH itu teman yang bisa menikam dari belakang. Jadi bisa saja nanti Jokowi
dijatuhkan tapi bukan oleh KMP, otaknya ada di balik para pendukungnya (-See
more at: http://www.jurnas.com/news/154593/Jokowi-Diminta-Waspada-pada-Barisan-Sakit-Hati-KIH---).
Memakai kaca mata awam, bahasa rakyat, kita bisa melihat betapa
periode 2014-2019 yang diawali dengan Kabinet Kerja yang berisi menteri
titipan/sisipan (bahkan MB juga mengingatkan bahwa Jokowi menurutnya, hanya
mengambil elit kelas 2 PDIP) sampai DPR tandingan, sebagai bukti bahwa kawanan parpolis
pemenang pemilu legislatif 9 April 2014 dan pilpres 9 Juli 2014, hanya menang
secara kuantitas, tidak secara kualitas. Perilaku KIH plus Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) yang menyatakan mosi tidak percaya kepada pimpinan
DPR 2014-2019 yang didominasi KMP, sebagai tindakan politis yang justru pamer
penyakit bodoh politik, unjuk penyakit buta politik.
Saringan dan saran KPK serta
PPATK terhadap bursa calon menteri kabinet Jokowi-JK layak dikembangkan untuk
menyeleksi calon wakil rakyat yang akan dilantik. Artinya, caleg yang perolehan
suaranya bisa masuk gedung DPR RI, tidak otomatis bisa diambil sumpahnya dan
dilantik. Menang secara kuantitas, belum tentu kandungan rekam jejaknya
berkualitas, minimal menurut versi KPK dan PPATK.
Memakai kaca mata Rupiah,
para caleg atau yang sudah dapat kursi di DPR jauh dari kategori rakyat miskin,
jauh dari stigma fakir miskin, kaum papa. Kalaupun harus berkorban, ibarat
memancing ikan. Agar dapat tangkapan ikan besar, umpannya harus dikalkulasi
dengan cermat. Untuk mendapatkan nomer urut jadi sebagai caleg memang tidak
gratis. Persaingan di internal parpol menjadikan kawanan parpolis menjadi
pemakan segala. Pepatah warsian nenek moyang kita yang orang pelaut, yaitu “seganas-ganas induk harimau, tidak akan memangsa anak sendiri” tidak berlaku di tubuh parpol.
Tidak ada kawan sejati dan tidak ada lawan abadi yang berlaku surut. Bahkan
untuk meraih dan mewujudkan kepentingan yang sama, persatuang yang digalang
bersifat formalitas, semu dan seremonial. Walhasil, kawanan parpolis di DPR
tidak berhak memakai Kartu Keluarga Sejahtera.
MB menegaskan lagi, bahwa ia tidak melihat satupun
orang yang akan bisa loyal pada Jokowi, karena memang tidak ada loyalis Jokowi.
Jokowi menurutnya, tidak bisa berbuat apa-apa sehingga tidak bisa
mengakomodir para loyalisnya. Justru dalam kabinet Jokowi banyak terdapat orang
Jusuf Kalla.
Menikmati periode 2014-2019 ini, rakyat memakai
ungkapan Jawa “sing waras, ngalah”. Waras tidak sekedar
berkaitan dengan olah jiwa, tetapi terkait dengan aspek lainnya, yaitu olah
otak, olah rasa, olah batin. Kita jangan lupa, ketika kursi wakil rakyat/kepala
daerah bernilai ekonomis, transaksional, ceritanya jadi lain. Mahzab ilmu
pengetahuan negara maju pun tidak akan mampu merumuskannya. Bukan sekedar salah
kaprah. Campur baur, tumpang tindih, atau saling lempar tanggung jawab menjadi
menu dan sajian harian kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Untuk
mencapai sukses dunia, anak bangsa yang bergelar kawanan parpolis yang masuk
jajaran wakil rakyat, pembantu presiden, kepala daerah atau jabatan
penyelenggara negara lainnya, tidak sekedar sebagai pemain watak. Mereka ahli,
pakar`dan mahir memanipulasi watak dan
tidak memerankan dirinya sendiri.
Jangan-jangan, kawanan parpolis tidak mengetahui dan menyadari
apakah dia sedang berbohong atau sedang jujur [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar