Majalah MPR edisi no 06/tahun V/juni
2011
Selasa, 31/05/2011 05:44
partai politik = mesin
penyedot uang
Menyadari partai politik (parpol) bukan sebagai mesin
pencetak uang, maka mulai dari pendiri, pembina, penasihat, petinggi, ketua
umum, pengurus sampai kader parpol berupaya dengan legitimasi/legalisasi yang dimilikinya
bisa menarik uang. Mulai menggalang dana masyarakat sampai ke menggali berbagai
sumber dana dengan berbagai upaya/usaha.
Artinya, parpol memang bukan usaha yang bisa mendatangkan
laba, bukan upaya produktif, bukan ikhtiar yang profitable. Bahkan, untuk
mengurus dirinya sendiri, parpol mendapatkan bantuan keuangan dari APBN/APBN,
yang diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai
Politik dan masyarakat ( UU 2/2011).
Untuk bisa menjadi parpol pemenang pesta demokrasi lima
tahunan, tentunya butuh dukungan finansial yang seolah tak bisa diukur. Biaya
kampanye, biaya beli suara, biaya jaga eksistensi, butuh rupiah dalam hitungan
miliar. Dukungan keuangan dari perorangan maupun perusahaan, kendati ikhlas
menurut hubungan tahu saling tahu, namun masih ada “udang di balik batu”. Pengusaha
atau pemilik/pemodal berbagai perusahaan mempunyai kalkulasi matematis dalam
menggelontorkan uangnya untuk menyumbang parpol. Sumbangan pengusaha merupakan
umpan yang diharapkan imbalannya tidak hanya finansial, mengarah ke dukungan
yuridis politis dari jagonya jika menang. Maka, terjadi hubungan yang saling
menguntungkan antara parpol dengan pengusaha.
Kebutuhan dana tidak hanya dalam meraih kursi (khususnya
di parlemen/ legislatif dan birokrasi) di tingkat nasional maupun daerah,
tetapi juga bagaimana bisa bertahan hidup dalam periode lima tahun.Ironis
memang. Parpol atau koalisi parpol yang jagonya menang dalam pemilukada gubernur
ataupun walikota/bupati, tentunya berharap politik balas jasa.
Para parpolis/politikus/politisi mulai papan bawah sampai
papan atas dalam menakar keberhasilan juangnya bukan pada apa yang telah
dihasilkan dan bermanfaat bagi bangsa, negara dan rakyat, tetapi pada apa saja
yang telah diraup dan diperolehnya selama ini. Pertimbangan ekonomi, sebanding
tidak antara pengorbanan dengan perolehan, seimbang tidak antara modal yang
disumbangkan dengan masukan yang ditampung.
Masuknya dedengkot parpolis/politikus/politisi melalui
mekanisme pemilihan ke legislatif, eksekutif dan yudikatif, baik di tingkat
pusat maupun daerah, tentunya membawa misi yang sangat beraneka ragam. Jadi,
salah satu tolok ukur keberhasilan utawa kinerja perjuangan parpolis/politikus/politisi
(akumulasinya merupakan kinerja partai politik) yaitu posisi apa saja yang
telah diperolehnya serta seberapa besar perolehan akibat memanfaatkan posisi
tsb.
Rakyat jangan bermimpi mengharapkan kinerja parpol dengan
bukti berkurangnya rakyat miskin dan sekaligus berkurangnya orang kaya.
Keterlibatan parpol dalam korupsi di Indonesia, jelas lebih maju selangkah dari
pasal hukum. Korupsi dengan pelaku utama parpol bisa dari hulu hingga ke hilir
(memberi peluang sekaligus sebagai pelaku), maupun sebagai pusaran korupsi
(antar parpol jangan saling menjegal).[HaeN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar