Halaman

Minggu, 16 November 2014

partai politik = mesin penyedot uang

Majalah MPR edisi no 06/tahun V/juni 2011
Beranda » Berita » Opini
Selasa, 31/05/2011 05:44

partai politik = mesin penyedot uang


Menyadari partai politik (parpol) bukan sebagai mesin pencetak uang, maka mulai dari pendiri, pembina, penasihat, petinggi, ketua umum, pengurus sampai kader parpol berupaya dengan legitimasi/legalisasi yang dimilikinya bisa menarik uang. Mulai menggalang dana masyarakat sampai ke menggali berbagai sumber dana dengan berbagai upaya/usaha.

Artinya, parpol memang bukan usaha yang bisa mendatangkan laba, bukan upaya produktif, bukan ikhtiar yang profitable. Bahkan, untuk mengurus dirinya sendiri, parpol mendapatkan bantuan keuangan dari APBN/APBN, yang diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat ( UU 2/2011).

Untuk bisa menjadi parpol pemenang pesta demokrasi lima tahunan, tentunya butuh dukungan finansial yang seolah tak bisa diukur. Biaya kampanye, biaya beli suara, biaya jaga eksistensi, butuh rupiah dalam hitungan miliar. Dukungan keuangan dari perorangan maupun perusahaan, kendati ikhlas menurut hubungan tahu saling tahu, namun masih ada “udang di balik batu”. Pengusaha atau pemilik/pemodal berbagai perusahaan mempunyai kalkulasi matematis dalam menggelontorkan uangnya untuk menyumbang parpol. Sumbangan pengusaha merupakan umpan yang diharapkan imbalannya tidak hanya finansial, mengarah ke dukungan yuridis politis dari jagonya jika menang. Maka, terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara parpol dengan pengusaha.

Kebutuhan dana tidak hanya dalam meraih kursi (khususnya di parlemen/ legislatif dan birokrasi) di tingkat nasional maupun daerah, tetapi juga bagaimana bisa bertahan hidup dalam periode lima tahun.Ironis memang. Parpol atau koalisi parpol yang jagonya menang dalam pemilukada gubernur ataupun walikota/bupati, tentunya berharap politik balas jasa.

Para parpolis/politikus/politisi mulai papan bawah sampai papan atas dalam menakar keberhasilan juangnya bukan pada apa yang telah dihasilkan dan bermanfaat bagi bangsa, negara dan rakyat, tetapi pada apa saja yang telah diraup dan diperolehnya selama ini. Pertimbangan ekonomi, sebanding tidak antara pengorbanan dengan perolehan, seimbang tidak antara modal yang disumbangkan dengan masukan yang ditampung.

Masuknya dedengkot parpolis/politikus/politisi melalui mekanisme pemilihan ke legislatif, eksekutif dan yudikatif, baik di tingkat pusat maupun daerah, tentunya membawa misi yang sangat beraneka ragam. Jadi, salah satu tolok ukur keberhasilan utawa kinerja perjuangan parpolis/politikus/politisi (akumulasinya merupakan kinerja partai politik) yaitu posisi apa saja yang telah diperolehnya serta seberapa besar perolehan akibat memanfaatkan posisi tsb.


Rakyat jangan bermimpi mengharapkan kinerja parpol dengan bukti berkurangnya rakyat miskin dan sekaligus berkurangnya orang kaya. Keterlibatan parpol dalam korupsi di Indonesia, jelas lebih maju selangkah dari pasal hukum. Korupsi dengan pelaku utama parpol bisa dari hulu hingga ke hilir (memberi peluang sekaligus sebagai pelaku), maupun sebagai pusaran korupsi (antar parpol jangan saling menjegal).[HaeN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar