Halaman

Jumat, 28 November 2014

Golkar vs Partai Golkar

Beranda » Berita » Opini
Jumat, 20/08/2004 08:34

Golkar vs Partai Golkar

Ketika Korpri “menyatakan sikap” untuk dikotakkan dalam kubu Golkar maka untuk menyatakan kesetiaannya hari pencoblosan pada setiap pemilu di era Orba bukan hari libur. Mereka digiring ke TPS sekitar kantor. Bagi yang coba-coba tidak merangkul Pohon Beringin – jauh hari – sudah ketahuan. Dukungan birokrasi cukup meyakinkan. Walhasil, selain menjadi single mayority Golkar menjadi mesin politik penguasa Orba.

Artinya produk unggul Golkar hanya mentok di level pembantu presiden. Tidak ada yang bisa menembus level RI-1. Falsafahnya cukup sederhana, walau tak bisa jadi RI-1 yang penting bisa jadi dalang atau biang dalang yang bisa main di sembarang tempat, di segala waktu, di setiap urusan. Karakter Golkar tadi berlanjut di era Reformasi. Hanya ganti baju menjadi Partai Golongan Karya (PKG). Pada pemilu 1999 PKG termasuk yang bisa banting stir. Jelang Pemilu 2004, khususnya menghadapai Pilpres 5 Juli 2004 konvensi PKG digelar. Hasilnya cukup manusaiwi, Wiranto terpilih.

Orang boleh bertanya mana kader PKG yang sudah karatan koq tidak bisa muncul. Celakanya, capres dari Partai Demokrat adalah wong PKG. Lengkaplah kecelakaan PKG ketika Wiranto + Gus Solah tidak bisa menembus dan masuk ke putaran kedua. Ingat-ingat, memang sebegitu produk unggulan PKG. Disinyalir terdapat kesenjangan kader setelah Bung AT. Bisa dikatakan Bung AT sebagai pemain tunggal di tubuh PKG. Level belakangnya masih belum all out. Masih menimbang untung rugi, masih mengkalkulasi “angka keberuntungan”, masih pilah-pilih. Bahkan kader Golkar selain jadi kutu loncat tak iba untuk menyempalkan diri.


Daripada antri lebih baik buat barisan sendiri. 48 parpol memeriahkan Pemilu 1999 dan menyusut setengahnya di Pemilu 1999. Kondisi ini malah memperpanjang barisan sakit hati. Banyak mantan capres, caleg dan calon apa saja gentayangan di rimba tak bertuan. Koalisi Kebangsaan menunjukkan bahwa PKG mempunyai skenario bawah tanah. Perhitungan di atas kertas yang dipakai adalah asal bankai borok tak diobok-obok atau masih merasa ada senjata andalan berdasarkan KKN yang siap diledakkan jika situasi tak menguntungkan. Begitulah politik. Apa boleh buat. Bahkan bisa lebih ganas dibanding judi. Nasib bangsa dipertaruhkan, masa depan bangsa digadaikan. Akhirnya kita diperbudak oleh politik. (hn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar