Jumat, 20/08/2004 08:34
Golkar vs Partai
Golkar
Ketika Korpri
“menyatakan sikap” untuk dikotakkan dalam kubu Golkar maka untuk menyatakan
kesetiaannya hari pencoblosan pada setiap pemilu di era Orba bukan hari libur.
Mereka digiring ke TPS sekitar kantor. Bagi yang coba-coba tidak merangkul
Pohon Beringin – jauh hari – sudah ketahuan. Dukungan birokrasi cukup
meyakinkan. Walhasil, selain menjadi single mayority Golkar menjadi mesin
politik penguasa Orba.
Artinya produk unggul
Golkar hanya mentok di level pembantu presiden. Tidak ada yang bisa menembus level
RI-1. Falsafahnya cukup sederhana, walau tak bisa jadi RI-1 yang penting bisa
jadi dalang atau biang dalang yang bisa main di sembarang tempat, di segala
waktu, di setiap urusan. Karakter Golkar tadi berlanjut di era Reformasi. Hanya
ganti baju menjadi Partai Golongan Karya (PKG). Pada pemilu 1999 PKG termasuk
yang bisa banting stir. Jelang Pemilu 2004, khususnya menghadapai Pilpres 5
Juli 2004 konvensi PKG digelar. Hasilnya cukup manusaiwi, Wiranto terpilih.
Orang boleh bertanya
mana kader PKG yang sudah karatan koq tidak bisa muncul. Celakanya, capres dari
Partai Demokrat adalah wong PKG. Lengkaplah kecelakaan PKG ketika Wiranto + Gus
Solah tidak bisa menembus dan masuk ke putaran kedua. Ingat-ingat, memang
sebegitu produk unggulan PKG. Disinyalir terdapat kesenjangan kader setelah
Bung AT. Bisa dikatakan Bung AT sebagai pemain tunggal di tubuh PKG. Level
belakangnya masih belum all out. Masih menimbang untung rugi, masih
mengkalkulasi “angka keberuntungan”, masih pilah-pilih. Bahkan kader Golkar selain
jadi kutu loncat tak iba untuk menyempalkan diri.
Daripada antri lebih
baik buat barisan sendiri. 48 parpol memeriahkan Pemilu 1999 dan menyusut
setengahnya di Pemilu 1999. Kondisi ini malah memperpanjang barisan sakit hati.
Banyak mantan capres, caleg dan calon apa saja gentayangan di rimba tak
bertuan. Koalisi Kebangsaan menunjukkan bahwa PKG mempunyai skenario bawah
tanah. Perhitungan di atas kertas yang dipakai adalah asal bankai borok tak
diobok-obok atau masih merasa ada senjata andalan berdasarkan KKN yang siap
diledakkan jika situasi tak menguntungkan. Begitulah politik. Apa boleh buat.
Bahkan bisa lebih ganas dibanding judi. Nasib bangsa dipertaruhkan, masa depan
bangsa digadaikan. Akhirnya kita diperbudak oleh politik. (hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar