duduk sama berpantat, berdiri belum tentu pakai kaki
sendiri
Tersebutlah sebutan politik kekuasaan,
politik praktis, politik uber kursi disebut dengan sebutan politik tingkat
rendah (low politics). Berkat pengguna aktif, minimal animo di luar
takaran adab politik di negara selalu berkembang. Menjadi rujukan utama
multipartai. Akhirnya modus politik rendahan naik pamor menjadi politik
berbangsa dan bernegara.
Pemerintah berkelanjutan
mensyaratkan adanya kompromi politik. Bukan sebagai jalan tengah. Akhirnya, apapun
modus politik, yang jadi korban tetap rakyat. Ungkapan karena idéologi sesaat,
anak bangsa téga rendah budi. Kepala negara aktif saja bergaya merendahkan diri
dihadapan tamu negara yang diundang, apalagi rakyat. Bahkan pernah sang
presiden bertindak sebagai tukang ojek payung.
Ketika tata susila dipakai untuk
menjelaskan alat kelengkapan tata nilai etika, tata moral bagi kehidupan berpolitik.
Tak pakai lama berpikir apalagi berproses hati, kawanan politisi penganut
falsafah hidup “téga sengsarané, luwih téga patiné”. Langsung meradang siap
menyeruduk, sigap menanduk kian kemari, sedia menjadi hantu politik nusantara.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar