Halaman

Kamis, 19 Februari 2015

nasib nusantara, bagai jokowi di ujung tanduk banteng

Nasib Nusantara, Bagai Jokowi Di Ujung Tanduk Banteng

Waktu saya menuntut ilmu di Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) di kotapraja Yogyakarta (sekarang kota Yogyakarta) beberapa tahun sebelum peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) menusuk dari belakang NKRI untuk kedua kalinya, dikenal dengan G30S 1965 PKI. Guru yang mengajar semua mata pelajaran, menguraikan peribahasa ‘bagai telur di ujung tanduk’.

Selan tidak masuk akal anak SR, kami anggap aneh, menaruh telur di ujung tanduk. Apalagi, sepengetahuan para anak SR, tanduk kerbau atau sapi tidak tegak. Namanya peribahasa, dijelaskan oleh pak guru bahwa maksudnya adalah kondisi labil, mudah jatuh atau tak mungkin berdiri. Tak perlu digoyang akan jatuh sendiri. Lebih baik di ujung tanduk menjangan, bercabang, bayangkan kami. Karena kalau tergelincir, nyangkut di pangkal tanduk. Retak atau pecah soal lain.

Waktu saya duduk di klas satu SMP di kota Yogyakarta, G30S/PKI meletus. Teman lain klas menjadi anak salah satu Pahlawan Revolusi Yogyakarta. Tanpa komando, banyak rakyat merasa menjadi anak didik, murid, bahkan menjadi loyalis Bung Karno. Asas pejah gesang nderek Bung Karno (hidup mati ikut Bung Karno) menjadi jimat. Lambang kepala banteng, foto silhuet, dengan tanduk tegak bak mahkota, menjadi kebanggaan. Merasa nasionalis, pelajar menjadi anggota pasif Gerakan Siswa Nasional Indonesia, bahkan bersifat radikal. Pemuda tergabung dalam Gerakan Pemuda Marhaen (GPM). Warna merah menjadi trade mark atau hak milik kaum Marhaen.

Lebih dari setengah abad kemudian, tepatnya, begitu pengemban Super Semar 1966 berkibar, semangat banteng ketaton (terluka) mengendur, luntur dan surut perlahan. Anak biologis, anak ideologis Bung Karno dikebiri oleh pemerintah Orde Baru, khususnya Guntur. Mbak Mega dianggap tidak berbahaya, dibiarkan melenggang kangkung, merdeka berpartai politik. Inilah kelebihan Bapak Pembangunan H.M Soeharto membaca pertanda zaman.

UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur hanya ada dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Walhasil, 5 kali Pemilu di era Orde Baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 peserta tetapnya hanya tiga : PPP, PDI dan Golkar. Hasilnya juga sudah bisa ditebak, bahkan sebelum hari coblosan. Hasil akhir yaitu’ atas kehendak rakyat’.

Penerawangan pak Harto atas kinerja dan kiprah mbak Mega tidak meleset di zaman Orde Baru. 21 Mei 1998, pak Harto lengser keprabon dari kursi RI-1 digantikan oleh RI-2 : Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai presiden meneruskan periodnya.

Semangat Reformasi,  Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu (sumber : KPU) untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru. Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sejarah periode 1999-2004 merekam bahwa 22 Oktober 1999-23 Juli 2001 Megawati sebagai wakil presiden dan 23 Juli 2001-20 Oktober 2004 Megawati menjadi presiden. Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2001 tertanggal 23 Juli 2001, ditetapkan sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid, sampai habis sisa masa jabatan Presiden Republik Indonesia 1999-2004.

Dekade 2004-2009 dan 2009-2014, rakyat Indonesia sadar politik, melek politik dan mampu melihat fakta, akhirnya Megawati Soekarnoputri keluar sebagai runner-up. Sebagai bandar PDI-P di 2014, Megawati menyuruh orang suruhan, petugas atau kurir PDI-P untuk maju jadi calon presiden di pilpres 9 Juli 2014. Akhirnya pasangan Jokowi-JK keluar sebagai juara umum.

Singkat kata di periode 2014-2019 saya teringat peribahasa ‘bagai telur di ujung tanduk’. Menurut KBBI, di ujung tanduk adalah ‘dalam keadaan yang sangat sulit (berbahaya)’.

Memakai kaca mata politik, perjalanan Jokowi-JK dikendalikan oleh tanduk banteng. Salah sedikit atau tidak patuh komando, tanduk banteng langsung menyengat pantat. Tanduk banteng bak cambuk atau cemeti yang dipegang gembala. Tapi semua ini hanya peribahasa [HaeN].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar