Nasib Nusantara, Bagai Jokowi Di Ujung Tanduk Banteng
Waktu saya menuntut ilmu di Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD) di kotapraja
Yogyakarta (sekarang kota Yogyakarta) beberapa tahun sebelum peristiwa Partai
Komunis Indonesia (PKI) menusuk dari belakang NKRI untuk kedua kalinya, dikenal
dengan G30S 1965 PKI. Guru yang mengajar semua mata pelajaran, menguraikan
peribahasa ‘bagai telur di ujung tanduk’.
Selan tidak masuk akal anak SR, kami anggap aneh, menaruh telur di ujung
tanduk. Apalagi, sepengetahuan para anak SR, tanduk kerbau atau sapi tidak
tegak. Namanya peribahasa, dijelaskan oleh pak guru bahwa maksudnya adalah
kondisi labil, mudah jatuh atau tak mungkin berdiri. Tak perlu digoyang akan
jatuh sendiri. Lebih baik di ujung tanduk menjangan, bercabang, bayangkan kami.
Karena kalau tergelincir, nyangkut di pangkal tanduk. Retak atau pecah soal
lain.
Waktu saya duduk di klas satu SMP di kota Yogyakarta, G30S/PKI meletus.
Teman lain klas menjadi anak salah satu Pahlawan Revolusi Yogyakarta. Tanpa
komando, banyak rakyat merasa menjadi anak didik, murid, bahkan menjadi loyalis
Bung Karno. Asas pejah gesang nderek Bung Karno (hidup mati ikut Bung
Karno) menjadi jimat. Lambang kepala banteng, foto silhuet, dengan
tanduk tegak bak mahkota, menjadi kebanggaan. Merasa nasionalis, pelajar
menjadi anggota pasif Gerakan Siswa Nasional Indonesia, bahkan bersifat
radikal. Pemuda tergabung dalam Gerakan Pemuda Marhaen (GPM). Warna merah
menjadi trade mark atau hak milik kaum Marhaen.
Lebih dari setengah abad kemudian, tepatnya, begitu pengemban Super Semar
1966 berkibar, semangat banteng ketaton (terluka) mengendur, luntur dan
surut perlahan. Anak biologis, anak ideologis Bung Karno dikebiri oleh
pemerintah Orde Baru, khususnya Guntur. Mbak Mega dianggap tidak berbahaya,
dibiarkan melenggang kangkung, merdeka berpartai politik. Inilah kelebihan
Bapak Pembangunan H.M Soeharto membaca pertanda zaman.
UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur hanya ada dua partai yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu
Golongan Karya (Golkar). Walhasil, 5 kali Pemilu di era Orde Baru, yaitu Pemilu
1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 peserta tetapnya hanya tiga : PPP, PDI dan
Golkar. Hasilnya juga sudah bisa ditebak, bahkan sebelum hari coblosan. Hasil
akhir yaitu’ atas kehendak rakyat’.
Penerawangan pak Harto atas kinerja dan kiprah mbak Mega tidak
meleset di zaman Orde Baru. 21 Mei 1998, pak Harto lengser keprabon dari kursi
RI-1 digantikan oleh RI-2 : Bacharuddin Jusuf Habibie sebagai
presiden meneruskan periodnya.
Semangat Reformasi, Pemilu
dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat
itu (sumber : KPU) untuk sebagian alasan diadakannya Pemilu adalah untuk
memperoleh pengakuan atau kepercayaan dari publik, termasuk dunia internasional,
karena pemerintahan dan lembaga-lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997
sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan
penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang
baru. Ini berarti bahwa dengan
pemilu dipercepat, yang terjadi bukan hanya bakal digantinya keanggotaan DPR
dan MPR sebelum selesai masa kerjanya, tetapi presiden Habibie sendiri
memangkas masa jabatannya yang seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu
kebijakan dari seorang presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sejarah periode 1999-2004 merekam
bahwa 22 Oktober 1999-23 Juli 2001 Megawati sebagai wakil presiden dan 23 Juli
2001-20 Oktober 2004 Megawati menjadi presiden. Wakil Presiden Republik
Indonesia Megawati Soekarnoputri, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2001 tertanggal 23 Juli 2001,
ditetapkan sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan K.H. Abdurrahman
Wahid, sampai habis sisa masa jabatan Presiden Republik Indonesia 1999-2004.
Dekade 2004-2009 dan 2009-2014,
rakyat Indonesia sadar politik, melek politik dan mampu melihat fakta, akhirnya
Megawati Soekarnoputri keluar sebagai runner-up. Sebagai bandar PDI-P di
2014, Megawati menyuruh orang suruhan, petugas atau kurir PDI-P untuk maju jadi
calon presiden di pilpres 9 Juli 2014. Akhirnya pasangan Jokowi-JK keluar
sebagai juara umum.
Singkat kata di periode 2014-2019
saya teringat peribahasa ‘bagai telur di ujung
tanduk’. Menurut KBBI, di ujung tanduk adalah ‘dalam keadaan yang sangat sulit
(berbahaya)’.
Memakai kaca mata politik, perjalanan Jokowi-JK dikendalikan oleh tanduk
banteng. Salah sedikit atau tidak patuh komando, tanduk banteng langsung
menyengat pantat. Tanduk banteng bak cambuk atau cemeti yang dipegang gembala.
Tapi semua ini hanya peribahasa [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar