Halaman

Rabu, 25 Februari 2015

2014-2019, Indonesia Tersandera Dendam Politik

2014-2019, Indonesia Tersandera Dendam Politik

NAIK KELAS
Pendiri Maariff Institute Ahmad Syafii Maarif berpendapat bahwa politisi Indonesia sebaiknya "naik kelas" atau berubah pandangan menjadi  negarawan. "Jangan cuma hanya jadi politisi, tetapi harus bisa naik kelas menjadi  negarawan agar tidak hanya mementingkan suatu golongan," kata Ahmad Syafii Maarif di Jakarta, Selasa malam 24/2/2015 (sumber : REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA).

Pendapat Buya Maarif, tentunya berdasarkan fakta historis, tidak sekedar asumsi politis, tidak perlu melalui survei pesanan, jajak pendapat, sampling ke pasar tradisional apalagi memakai jasa penyelidikan dan penyidikan khusus. Aroma politik 2014-2019, kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sudah mengarah pada polusi yang sudah akut.

Pasca Reformasi, 21 Mei 1998, terbukti tidak ada politisi yang siap jadi pemimpin nasional. Bukan sekedar karena tidak ada pengkaderan di zaman Orde Baru atau pengkerdilan politisi liwat penyederhanaan jumlah partai. UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, menyederhanakan jumlah partai, mengatur hanya ada dua partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar).

Parpol sempalan, dengan paltform yang serupa tapi tak sebentuk,  muncul bak cendawan di musim hujan, pamrih pertama dan utama adalah agar bisa ikut pemilu. Politisi kambuhan, politisi karbitan, politisi musiman, politisi aji mumpung, politisi pupuk bawang tampil tanpa merasa sungkan dan malu. Tak pelak, dekade pertama Orde Reformasi (1998-2008) telah menghasilkan 4 presiden  yaitu BJ Habibie, Gus Dur, mbok de Mega dan SBY.

Tokoh Reformis karena mengutamakan politik banyak yang kandas di tengah jalan, dikenang untuk tidak dikenang. Orang mendirikan partai politik sebagai ikhtiar menuju RI-1. Banyak orang merasa bisa jadi RI-1. Paling konyol adalah pemikiran bahwa untuk bisa berbuat banyak buat negara harus jadi kepala negara. Perjuangan mulai dari atas, bukan dirintis dari bawah.

Bagaimana aturan main agar politisi, atau apapun sebutan dan klasnya, bisa naik kelas?

TUMBUH KE BAWAH
Kawanan parpolis Indonesai terjebak perseteruan, pertarungan, persaingan horizontal. Bisa disumpah dan dilantik jadi wakil rakyat, terlebih tingkat nasional, merasa nyaman, mapan dan belum puas. Mencapai puncak karir,  mengukir prestasi, tinggal kalkulasi untung-rugi.

Walhasil, politisi Indonesia bukan cikal bakal negarawan. Politisi yang sampai pucuk pimpinan di parpolnya, bukan jaminan mutu untuk dipromosikan ke sebagai negarawan. Ironis, ketua umum sebuah parpol yang sempat menjabat sebagai kepala negara tidak otomatis bergelar negarawan. Negarawan bukan karena jabatan.

Ternyata, selama dua peridoe 2004-2009 dan 2009-2014 dengan satu presiden, berdampak pada pola asuh politik Indonesia. Pekerjaan yang paling membosankan adalah ‘menunggu’. Kalau anak didik pemegang ijazah SMA berjibaku untuk masuk perguruan tinggi, gagal tahun ini bersiap maju tahun depan. Gagal lagi, akan memakai Rencana-B atau alternatif terakhir. Di industri politik, gagal di pemilu dan pilpres, tunggu waktu lima tahun lagi. Pecundang politik, biasanya tidak evaluasi diri, tetapi sibuk dan gemar mencari kambing hitam. Jika cerdas,  mulai dari nol, melakukan perombakan total. Jika dua kali aktif ikut di pesta demokrasi, dengan hasil maksimal hanya jadi runner-up, bukannya tak berdampak.


Singkat kata, tekanan hidup di bawah bayang-bayang politik lawan selama penantian dua kali pesta demokrasi, menjadikan naluri politik, insting politik tumbuh ke bawah. Bukan tumbuh ke samping apalagi tumbuh ke atas. Daya tanggap, kepekaan, dan kepedulian politik hanya sebatas urusan perut ke bawah, yaitu syahwat politik. Sepuluh tahun memendam berbagai jenis ambisi sekaligus menimbun berbagai ragam antipati. Dipastikan, yang dipikirkan bukan negara ke depan, tetapi lebih bagaimana selama lima tahun ini menjadikan negara sebagai hak milik, hak guna dan hak pakai.[Haen]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar