Mengokohkan Jati Diri Umat Islam
369 kali , 0 komentar
Humaniora Dibaca :369 kali
, 0 komentar
Ditulis Oleh :Herwin Nur, Pada Tanggal : 15
- 02 - 2013 | 17:42:26
Pulang Haji
Muslim Indonesia yang bergelar Haji tiap tahun bertambah, walau tak sampai
satu permil (0,1%). 2012, Indonesia mendapat kuota ibadah haji hanya 211 ribu
orang dari jumlah penduduk muslim yang diperkirakan lebih dari 220 juta orang
dari total seluruh penduduk Indonesia sekitar 240 juta. Artinya, kuota tersebut
kurang dari 0,1%. Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan kuota haji sebesar
1.000 jemaah untuk 1 juta penduduk, yang diberlakukan sejak 1987. 50% jamaah
haji masuk kategori beresiko tinggi (risti), dan 80% berusia lanjut, yaitu
>70 tahun.
Dampak sosial haji berdasarkan anggapan yang beredar di masyarakat, bahwa
orang yang baru pulang dari berhaji masih diikuti malaikat hingga 40 hari,
selama 40 hari do’anya manjur. Membawa berkah pada tetangga, pada lingkungan
tempat tinggal maupun tempat kerjanya. Panggilan pak/bu haji akan menyertainya,
menjadikan beban moral.
Dampak haji tergantung pelakunya, terlebih bagi mereka yang sadar
memposisikan ibadah haji semata karena Allah, bukan untuk mendongkrak strata
atau status sosialnya. Ibadah haji bukan sebagai andalan ibadah atau puncak
ibadahnya yang dilakukan sekali dalam seumur hidup bagi yang mampu dan
terpanggil.
Menampilkan jati diri sebagai haji harus diikuti dengan berbagai tindakan
nyata. Lingkungan, mulai dari tingkat RT, mendapatkan kebaikan dengan adanya
warga yang haji. Adab bertetangga ditegakkan dalam semangat uhkuwah, terutama
dalam masyarakat yang plural atau majemuk, heterogen. Menghadapi virus
Islamophobia, persaudaraan haji dan umat Islam pada umumnya, harus cerdas
mengambil tindakan proaktif, preventif dan persuasif.
Secara Total
Menghadapi gerakan dan penyebaran virus Islamophobia, cara berfikir,
berucap dan bertindak umat Islam, mengacu terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 208]
: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kaffah),
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu”.
Mulai dari diri sendiri, setelah pribadi tertangani, kemudian atau secara
bersama-sama memperbaiki keluarga sehingga menjadi keluarga-keluarga muslim
yang berupaya menerapkan Islam secara kaffah. Akumulasi keluarga-keluarga
muslim, terbentuklah masyarakat islami.
Di sisi lain, umat Islam memang wajib mengetahui modus operandi
Islamophobia, sebagai acuan dan melakukan cegah tangkal sejak dini. 3
tampilan umat Islam sebagai jati diri :
Pertama, tampilan aktualisasi diri, mulai mematut diri dalam berfikit,
bertutur dan olah fisik, sampai memilah dan memilih busana islami. Atribut
islami bisa dikenakan secara modis, trendi dengan asas bersih sebagian dari
iman. Mengikuti gaya hidup, gengsi dan gaul yang secara tak langsung menepis
serbuan budaya asing yang tak islami. Profesi dijalankan sambil berdakwah
dimulai dari satu ayat sebagai pintu masuk ke ajaran Islam. Menjadi contoh dan
panutan di keluarga melalui faktor ajar.
Kedua, tampilan keluarga, dengan menyiapkan generasi Islam yang kuat bagi
anak keturunannya melalui pendidikan formal dan kegiatan pendidikan Islam di
lingkungan sejak dini, serta asupan gizi yang halal. Rumahku surgaku diwujudkan
dengan menyediakan ruang ibadah atau tempat sholat berjamaah, kehidupan yang
harmonis dan demokratis.
Ketiga, tampilan kegiatan sosial, kepedulian dengan berbagai kegiatan
lingkungan, menjadi katalisator, dinamisator dan motivator dalam bermasyarakat
sekaligus berbangsa dan bernegara. Menjalankan syariat Islam tanpa mengabaikan
hak asasi agama lain. Kontribusi nyata dalam posisi di manapun, misal semboyan tut
wuri handayani dalam arti walau di belakang layar tetap bisa berkontribusi dengan
dukungan dan dorongan moral. [Herwin Nur/Wasathon.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar