KITA BERINGSUT SURUT DAN SUSUT
Sejarah terkadang dan memang berpeluang untuk berulang.
Hanya beda posisi. Atau kalau pun ada “perbedaan” biasanya hanya terletak pada
pembaharuan. Pola lama dengan corak, ragam, gaya dan ukuran baru – bak ganti kulit.
Paradigma pembangunan nasional di era Orde Baru yang mengacu
kepada landasan idiil Pancasila dan UUD 1945 menjadikan target / sasaran
pembangunan yaitu masyarakat adil dan makmur menjadi fatamorgana, semangkin
terjangkau semangkin maya. Trilogi pembangunan menyebabkan lebih dari tridasa
warsa Bapak Pembangunan bisa betah di tahtanya, sebelum dilengserkerabonkan
oleh massa (21
Mei 1998). Sudah gaharu cendana pula. Habis Orde Baru bencana pula.
Di era Reformasi yang salah kiblat, kue pembangunan nasional
telah dibagi ke daerah (provinsi, kabupaten dan atau kota ) sesuai semangat otonomi (pemerintah)
daerah. Fungsi dan peran pemerintah pusat agak menyusut walau tak akan surut. Dimensi
syariat pembangunan nasional sangat ditentukan kiprah parpol pemenang Pemilu
1999. Banyak orang ingin jadi dalang, daripada antri kesiangan. Terlebih yang
sudah mengantongi gerbong yang bisa diajak berkoalisi, kolusi dan nepotisme. Tempuh
jalan pintas dan main salip sebagai hal yang lazim.
Di musim pancaroba yang melahirkan dua presiden, Dep. PU
mengalami proses belah diri dan kemudian bersatu lagi (walau beda nama).
Kabinet “Indonesia Bersatu” Departemen PU berkibar lagi dengan semangat yang
berkobar-kobar. Politik balas jasa tak bisa diabaikan dalam pembentukan
kabinet. Tetapi dalam penyusunan struktur organisasi Dep. PU malah terjadi
politik balas-membalas dalam lingkaran. Jasa bisa dianulir oleh wasit.
Menuju “Indonesia Bersatu” dibuktikan Dep. PU dengan
menggunakan kaca mata kuda dalam menyusun “kabinet” departemen. Apalagi kacamata
yang bisa menembus waktu. Kita bukannya menyelesaikan masalah (sisa Reformasi)
tanpa masalah, malah membuat dan menumpuk masalah baru.
Draft struktur organisasi Departemen Pekerjaan Umum
2004-2009 tersurat sarat acuan berbagai UU, sebagai landasan yuridis formal /
operasional. Benang merah yang terjalin belum dijiwai oleh syariat pembangunan
nasional. Nuansa dominasi personal masih kentara dan kental dibanding dimensi
konsepsual. Kondisi berbagai keniscayaan tsb :
Pertama, selain mengandung muatan lokal (sektoral) malah
mengundang cikal bakal konflik eksternal antar sektor (untuk mencari sang
primadona) maupun di dalam sektor itu sendiri. Fitur struktur organisasinya
memang atraktif, tetapi mekanisme fungsionalnya acak-acakan, tidak mengutamakan
apa yang bisa kita kerjakan (malah menggambarkan bagi hasil dan perolehan).
Kedua, upaya pembenaran diri ini berakibat pada syariat pembangunan
Dep. PU mempunyai sasaran semu dan target bias. Belum terbilang adanya tarik
ulur kepentingan para dalang. Siapa memerankan apa. Siapa yang belum kebagian.
Siapa yang harus dimasukkan ke dalam kotak sang dalang.
Ketiga, Dep. PU harus lebih memperhatikan bidang garap apa
saja yang bisa dikerjakan secara sinergis dan berasas manfaat (fungsi, sub
fungsi, program dan kegiatan), bukan pada wadah apa saja yang bisa dibuat.
Kegiatan yang akan dirangkum nantinya dikuatirkan tak akan jauh dari mahzab project oriented (pokoke
entuk proyek).
Keempat, munculnya rambu-rambu SDA (Selamatkan Diri Anda)
utawa SDM (Selamatkan Diri Masing-masing) yang berdaya antisipasif dan
responsif. Masing-masing pegawai bukannya merasa memiliki organisasi, tetapi
merasa dimiliki organisasi yang siap lengser keprabon.
Kelima, struktur organisasi diharapkan mencerminkan proses syariat
pembangunan secara proporsional (misal sesuai SIDLACOM, dsb). Sehingga proses syariat
pembangunan bidang ke-PU-an bisa utuh ditangani, tidak membengkak di fungsi /
lini tertentu, tidak sporadis serta fungsional.
Keenam, struktur organisasi diharapkan juga menggambarkan
secara jelas penanganan bidang ke-PU-an dari satu sisi dunia lainnya (aspek non
fisik, a.l. masalah penyiapan kader (mirip parpol) utawa staf yang kompetitif,
pemberlakuan NSPM secara konsisten, dsb).
Ketujuh, struktur organisasi merupakan fungsi dari perwujudan
kebutuhan dan kemampuan nyata akan kebutuhan bidang ke-PU-an. Dep. PU harus
mampu memprediksi ratio yang merupakan sinergi pendekatan kebutuhan dasar dan
pendekatan wilayah.
Kedelapan, struktur organisasi 2004-2009 akan merasuki tahap lima tahun berikutnya. Berbagai
faktor pertimbangan dengan titik perhatian pada kondisi politik yang masih
labil, atau dinamis tak terstruktur. Kuat di bawah tetapi jangan mirip
dinosaurus yang keberatan dan kebesaran perut (simbol pemakan segala yang ada).
Struktur ini menunjukkan gemuk fungsi (bukan kaya fungsi) tetapi njomplang
dalam kemampuan kompetensi SDMnya.
Kesembilan, struktur organisasi harus steril dari campur tangan
kepentingan partai politik. Tetapi tidak harus netral. Tidak bisa didikte.
Syariat pembangunan kalau bisa malah memberi warna dan andil pada perjalanan
politik, bukan sebaliknya. Artinya para pelaku pembangunan harus mempunyai
kepekaan, daya tanggap, kepedulian dan sikap responsif.
Kesepuluh, struktur organisasi yang baik adalah yang mampu
menampung dan menarik semua rangkaian gerbong. Bagi yang telah berkontribusi jangan
sampai dieliminasi secara sumbunyi=sembunyi. Bahkan kalau perlu untuk
penempatan pejabat struktural (Eselon I s.d. Eselon IV) melalui mekanisme Uji
Kelayakan dan Kepatutan (fit and proper test). Atau dalam 100 hari melakukan kontrak politik.
Secara umum PNS lebih mengacu pada kebesaran masa lampau, bukan melihat
kenyataan di depan pelupuk mata. Terkadang memang ironis.
Semoga, sepuluh butir renungan di atas bisa bermanfaat.
_______________________________________________________________
(hn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar