Halaman

Sabtu, 07 Februari 2015

KETIKA NEGARA DIANGGAP SEBAGAI WARISAN

KETIKA NEGARA DIANGGAP SEBAGAI WARISAN



KATA SEJARAH
Telinga kita sudah terlalu sering, akrab dan terbiasa mendengar berita ekonomi tentang negara dirugikan sekian milyar rupiah, sekian ratus juta rupiah akibat berbagai ulah anak bangsa. Awam menduga, penyebab kerugian negara adalah karena pelaku ekonomi (produsen, pedagang, dan konsumen) saat melakukan transaksi ekonomi, bisnis, perdagangan, perniagaan atau praktek jual beli dengan cara tidak wajar, tidak fair, tidak taat dan patuh aturan main maupun/apalagi hukum.

Penyelundup klas teri pakaian bekas berklas dari negara tetangga tertangkap tangan; penggerebekan di gudang penimbunan sembako, di lokasi oplosan miras, di tempat pemalsuan barang menjadi berita harian.

Konon, ahli sejarah peradaban bangsa menemukan bukti dan fakta baru, bahwa pelaku industri politik secara TSM (terstruktur, sistematis dan masif) dapat merugikan negara yang tidak bisa ditakar dengan Rp (rupiah). Kerugian ditimbulkan dalam satuan waktu menit dan jangan dibayangkan akumulasi selama satu periode atau lima tahun. Yang perlu dibayangkan,  dampak syahwat politik, efek domino dari gegar politik, geger politik, gempa politik, gagap politik terhadap generasi masa depan, tak bisa ditakar apalagi ditukar dengan Rp. Kehidupan sehari-hari bermasyarakat, berbangsa dan bernegara terkontaminasi modus operandi aroma politik sebagai panglima.

Dari sisi lain, dampak perilaku pelaku ekonomi, pelaku politik maupun pelaku lainnya, jika terukur bisa-bisa bisa diwujudkan sesuai berita : Dalam beberapa hari ini beberapa fakta menarik tentang Indonesia beredar di media massa termasuk soal jomblo, jumlah perokok, tingkat kematian anak bawah lima tahun (Balita), dan Jakarta sebagai kota termacet di dunia. FAKTA INDONESIA: Jomblo Lebih Bahagia, 51,1% Penduduk Perokok, 1.370 Balita Meninggal Per Hari, Jakarta Termacet Di Dunia (sumber : http://kabar24.bisnis.com/ )

SEJARAH BERULANG
Sejarah masa lampau jika tidak bisa kita jadikan acuan, akan berulang dengan format, kemasan, dan tampilan beda. Sejarah lama muncul menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi terkini. Contoh utama dalam artikel ini, mari kita simak surat ke-8 Al-Qur’an yaitu Al Anfaal (rampasan perang) terdiri atas 75 ayat dan termasuk golongan surat-surat Madaniyyah, karena seluruh ayat-ayatnya diturunkan di Madinah. Surat Al Anfaal menjelaskan makna rampasan perang (ghanimah) adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafir dengan melalui pertempuran, serta Fai-i ialah harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa terjadinya pertempuran.

Apa hubungannya dengan peta politik di Indonesia? Apakah masih ada pertempuran di Indonesia? Apakah masih ada orang-orang kafir dan musuh berkeliaran di Indonesia?

Konon, ahli sejarah peradaban bangsa Indonesia ingin membeberkan sejarah aktual dan faktual pesta demokrasi. Kisahnya dimulai dari bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).keluar sebagai juara umum Pemilihan Umum Legislatif Rabu, 9 April 2014. PDI-P mengantongi 18,9% total suara sah, atau 23.681.471 suara. Kisahnya berlanjut Rabu, 9 Juli 2014, pekerja PDI-P atau kurir PDI-P berhasil menjadi pemenang pertama dalam Pemilihan Presiden.

PDI-P setelah dua peridoe 2004-2009 dan 2009-2014 paceklik gol, maka di periode 2014-2019 akan panen gol. Mulai dari pemilik tunggal PDI-P sampai kawanan PDI-P terjangkit candu politik. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) memang hebat untuk menguasai bola, menjadi kemaruk politik.

Singkat kata, negara menjadi bak rampasan perang. Negara dianggap sebagai warisan yang wajib dikapling-kapling sampai tingkat pemerintahan terendah, dibagi habis sesuai asas balas jasa politik, balas budi politik.

Apa pun kejadian di periode 2014-2019, akibat dari politik balas jasa, balas budi vs politik balas dendam. Banyak pihak merasa berjasa menjadikan Jokowi-JK sebagai RI-1 dan RI-2 dengan prinsip no free lunch. Di media televisi, muncul manusia tanpa malu bergaya bak strata RI-1,5 (atau bahkan ada yang mematut diri jadi RI-0,5) mengumbar kata, fatwa bak orator ulung. Atau bandar politik menjadi dalang mengandalkan dinasti, silsilah dan trah, tinggal main tunjuk, tinggal terima bonus politik. Parpol pendatang baru tak kalah garangnya. Kurir politik yang kebagian kursi akan selalu pasang badan sebagai tanda kesetiaan, loyalitas total.[Haen]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar