Kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat jika disimak
dengan kaca mata politik, komentar apa pun sah dilontarkan. Begitu juga
sebaliknya, andai hiruk-pikuk panggung politik ditakar dengan kaca mata moral, kritik
menghardik pekerja politik tak tergelitik.
Kampanye
pesta demokrasi lima tahun sekali yang diberitakan penuh pelanggaran, wajar
berebut simpati dan empati. Mau ajak kakek neneknya, anak cucu, mboyong
tetangga satu RT, mengerahkan anak SD tidak melanggar pasal kepantasan. Kampanye
jalanan, di lapangan, di pasar, model turba (turun ke bawah), kerja bakti
massal atau mendadak peduli, peka dan tanggap terhadap nasib anak bangsa
sebagai bumbu penyedap.
Hak sipil
dan politik rakyat pemilih hanya menggunakan hak pilihnya. Pasca pemilu, rakyat
hanya sebagai selilit demokrasi, sebagai debu di mata. Jadi, tepatnya,
pendidikan politik justru diterapkan bagi oknum yang akan terjun di panggung
politik. Sehingga mereka, khususnya yang akan menyandang gelar wakil rakyat
yang terhormat, penyelenggara negara yang bermartabat, tahu betul seberapa
banyak haknya dan seberapa besar kewajibannya [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar