Dasar-Dasar Pemerintahan
Surat An Nisaa' yang terdiri dari 176 ayat itu, adalah surat Madaniyyah yang terpanjang sesudah surat Al Baqarah. Dinamakan An Nisaa' (wanita) karena dalam surat ini banyak dibicarakan hal-hal yang berhubungan dengan wanita. Hukum Keluarga sebagai pokok hukum pertama yang diperintahkan Allah. Secara formal, pemerintah melalui UU 52/2009 menjelaskan bahwa Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Masalah pusaka Kalalah (Kalalah ialah seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak) sebagai pokok hukum terakhir yang ditetapkan Allah dalam surat An Nisaa'.
Betapa dalam keluarga ada aturan mainnya
(beberapa macam 'aqad, seperti perkawinan, perceraian, wasiat dan sebagainya) termasuk
berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh (dekat dan jauh di
sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula
antara yang muslim dan yang bukan muslim). Bermasyarakat, hubungan antar
keluarga, rumah tangga sebagai modal dasar berbangsa dan bernegara.
Pokok hukum
dasar-dasar pemerintahan diawali dengan terjemahan
[QS An Nisaa’ (4) : 58] : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Manusia
sebagai kalifah di muka bumi, mempunyai otoritas mengatur dirinya sendiri.
Manusia diciptakan Allah dalam bentuk berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
saling kenal-mengenal.
Fokus
pada kata kunci ‘menetapkan hukum di antara manusia’, kita simak
bagaimana pelaksanaannya sekarang di Indonesia.
Fakta Fungsi Legislasi
Fungsi legislasi
dilaksanakan sebagai perwujudan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) selaku pemegang
kekuasaan membentuk UU (undang-undang) (Pasal 70 ayat (1) UU 27/2009). Selain fungsi legislasi, DPR
mempunyai fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Pengawasan terhadap
pelaksanaan UU dan APBN.
Di tahun
terakhir periode 2009-2014, diberitakan bahwa pekerjaan rumah DPR dalam bidang
legislasi kian berat. Sebanyak 66 RUU (Rancangan Undang-Undang) disahkan masuk
dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2104. Sementara kinerja anggota
dewan dalam menyelesaikan sejumlah RUU dalam Prolegnas 2013 juga terlihat
kurang maksimal. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Taufik Kurniawan mengetuk
palu sidang pertanda mengesahkan 71 RUU Prolegnas.
Wakil
Ketua Baleg (Badan Legislasi) Abdul Kadir Karding dalam laporannya di sidang
paripurna merinci, 34 (51,52%) RUU dari 66 RUU Prolegnas 2014 merupakan sisa
RUU Prolegnas 2013 yang belum rampung diselesaikan pembahasannya dalam tahap
pembicaraan tingkat I. Sedangkan 6 RUU dalam tahap harmonisasi di Baleg.
Sementara 13 RUU dalam tahap akhir penyusunan oleh DPR.
Realisasi
Prolegnas 2013 belum maksimal. Buktinya, dari 75 RUU Prolegnas 2013, hanya 20 (26,67%)
RUU yang dapat diselesaikan. Kendala yang dihadapi a.l :Pertama, tingkat penyelesaian
penyusunan RUU berjalan lambat dari DPR dan pemerintah. Kedua, terdapat sejumlah RUU yang tertunda pembahasannya
alias deadlock. disebabkan adanya ketidaksepahaman antara
pemerintah dengan DPR. Atau adanya
ketidaksepakatan antar kementerian yang ditugaskan membahas RUU. Ketiga,
ketaatan terhadap pemenuhan penjadwalan legislasi masih kurang. Akibatnya menyulitkan
tercapainya kuorum. Walhasil berujung
pada penundaan pembahasan sebuah RUU. (sumber : http://www.hukumonline.com. Selasa, 17 Desember 2013).
Fakta Partispasi Masyarakat
Kendala utama 560 anggota DPR yang identik anggota partai politik dalam
menjalankan fungsinya adalah beban politik, khususnya proses legislasi. Gairah
DPR membara jika ada pesanan pasal RUU yang komersial. Soal RUU yang pro-rakyat
selalu akan diserahkan ke anggota DPR periode berikutnya.
Ayat ‘Mekanisme
keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan, tersurat dua kali dalam UU 27/2009, sebagai bagian
tata tertib DPR dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Pesta demokrasi menghasilkan
sistem perwakilan yang seharusnya semakin memperkuat posisi masyarakat dalam
representasi. Hubungan antara DPR dan konstituennya harus dijalankan dalam
kerangka representasi. Pelaksanaan
fungsi DPR terhadap kerangka representasi rakyat dilakukan antara lain melalui
pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan
pertanggungjawaban kerja DPR kepada rakyat. Hak-hak sipil dan politik,
khususnya dalam pesta demokrasi lima tahun sekali, hanya diperhatikan selama 5
menit, saat hari pencoblosan.
Kenyataannya, masyarakat hanya
sebagai penerima UU dalam bentuk barang jadi. Usulan pasal dan ayat dalam UU
memang bukan proses dari bawah, bukan menampung aspirasi papan bawah, bukan
sebagai hasil studi banding blusukan ke masyarakat.
Fakta Menetapkan Dengan Adil
Fakta ‘menetapkan
hukum di antara manusia’ sebagai proses dan produk politik sangat ditentukan
oleh syahwat politik yang melahirkannya. Kendati DPR bukan pemain tunggal,
namun tetap didominasi oleh kepentingan politik para pihak pemegang kekuasaan
dalam periodenya. Target prolegnas yang tidak bisa dicapai per tahun anggaran,
terkadang di sisi lain DPR bisa menyajikan UU cepat saji (misal UU pemekaran
wilayah, pembentukan provinsi dan kabupaten/kota).
Andai masyarakat
atau pihak penerima manfaat merasa berkeberatan, dapat mengajukan judicial
review atau sebagai “hak uji materiil”. UU yang sudah disahkan bisa saja
bertentangan dengan peraturan yang secara hirarkis lebih tinggi, apalagi bertolak belakang dengan kepentingan
rakyat.
Aksi unjuk rasa dan unjuk raga oleh elemen masyarakat atas pasal/ayat UU
yang dianggap merugikan hanya dianggap sebagai dinamika kebebasan sesuai Pasal
28E ayat (3) UUD 1945 : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.”
Memang argo UU efektif dan efisien setelah ada produk hukum
di bawahnya, yang akhirnya menjangkau masyarakat. Memang tidak semua keinginan
masyarakat dapat diakomodir dalam UU. Memang tidak semua masyarakat mengetahui
apalagi memahami proses legislasi. Terlebih jika proses legislasi ibarat
memoles roti tawar dengan penyedap mata dan perasa yang memanjakan lidah [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar