Kilas Balik
Ironis,
goresan pena pikiran para pendiri bangsa, di zaman pra-Proklamasi 1945 sampai
di era Orde Lama, kendati kondisi pers maupun teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) saat itu masih ala kadarnya, masih bisa kita simak sampai di
era Reformasi. Paling runyam, di era Reformasi justru yang banyak bicara
dianggap sebagai pemikir, yang berfikir tidak punya wadah, tempat dan waktu
untuk bicara. Muncul
strata baru di masyarakat, misal pekerja pers, pekerja politik, pekerja
entertainment yang bekerja di industrinya masing-masing. Bahkan pekerja
pers merasa bisa atau bahkan merasa di atas penyelenggara negara dengan acara,
adegan maupun atraksi dalam format dialog, diskusi dan debat yang mengkritisi
kebijakan pemerintah. Saling menghujat atau saling menjilat
menjadi menu utama para pekerja politik.
Hubungan antara Ulama dengan Umara menjadi dikotomis atau
dilematis, justru datangnya dari sikap umat Islam yang mau main di dua panggung
sekaligus, atau hanya sebagai penonton, penggembira yang mirip bonek (bondo
nekat). Kita pakai
pengertian ulil amri adalah umara (pimpinan pemerintahan) bersama
ulama (pemimpin agama) sebagai satu kesatuan.
Umat Islam, secara individu, yayasan
atau bahkan dalam wadah organisasi masa (ormas) atau bahkan partai politik
(parpol), wajib peduli dengan syiar dan dakwah Islam. Memang diperlukan
dukungan formal pemerintah melalui produk hukum, misal UU sampai peraturan di
tingkat kabupaten/kota. Ormas maupun parpol terkadang hanya peduli atau
mengkritisi kebijakan pemerintah, lebih peka terhadap urusan negara, lupa pada
masalah di akar rumput. Ormas/parpol baru kebakaran jenggot jika muncul kasus.
Muncul berbagai komentar, argumen, wacana malah menjadi sasaran empuk media
elektronika.
Hak Perorangan
Generasi muda Islam, merasa urusan Islam menjadi
urusan yang mempunyai ilmu agama. Islam menjadi urusan wajib kyai, ustadz,
ulama, haji, madrasah, pesantren. Ormas / parpol Islam mempunyai dan
menjalankan misi ganda. Bahkan dengan ringan kata mengatakan agama urusan dan
tanggung jawab Pemerintah.
Umat
Islam di Indonesia, sebagai individu atau perorangan bisa mempunyai andil dalam
memperjuangkan agama Islam. Bisa berjuang di rumah dan mulai dari rumah, dengan
memanfaatkan kemajuan TIK. Kita mengacu betapa pemerintah telah memberikan
payung hukum yang harus kita sikapi dengan cerdas, karena mengatur hak dan
kewajiban umat Islam yaitu :
Pasal
28C, butir (2) UUD 1945 : “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”
Pasal 28E, butir (3) UUD 1945 : “Setiap
orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Pasal 28J, butir (1) UUD 1945 : “Setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Rambu-rambu
di atas, diperkuat dengan produk hukum di bawahnya sampai tingkat
kabupaten/kota. Tinggal bagaimana umat Islam menggulirkan peluang, mengoptimalkan
ruang juang serta merumuskan ‘apa saja yang bisa saya lakukan’ atau ‘siapa
berbuat apa’.
Bela Agama Allah
Umat Islam tidak perlu curiga berlebihan atas
niatan pemerintah atau pihak tertentu untuk menghilangkan kolom ‘Agama” pada
e-KTP. Tetapi jangan sampai kecolongan dengan modus operandi pembelotan akidah.
Sertifikasi bagi para ustadz (guru agama) dan ulama, stigma Islam KTP, fenomena Islam statistik atau ungul dalam jumlah
justru menjadi pemacu dan pemicu bagaimana cara mengislamkan umat Islam.
Memformat ulang sistem pendidikan/pengajaran formal agama Islam sekaligus
membudayakan fakto ajar di keluarga. Rumah tangga / keluarga sebagai sekolah,
madrasah, dan pesantren yang pertama dan utama bagi anak.
Berbasis
paket ‘mengislamkan umat Islam’ bisa sederhana, bisa rumit bin muskil. Kita
mengacu pada makna ‘membela agama Allah’, sebagaimana fiman Allah yang diabadikan dalam
Al-Qur’an [QS Al Hajj (22) : 40], [QS
Al Hadiid (57) : 25] dan khususnya [QS Muhammad (7) : 7] : “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya
Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Dakwah Kalam
Jujur saja, dakwah kalam
liwat media online Islam lebih banyak ke hablum minallah, sehingga
urusan hablum minannas dikemas seolah tidak melihat dunia nyata atau
keluar dari tempurung kelapa, khususnya dalam kehidupan nermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Urusan hablum minal
'alam (hubungan dengan alam sekitar) seolah memasuki dunia lain.
Kontributor didominasi
yang sudah mengantongi ijazah sarjana, lulusan ponpes, ber”sertifikat” sebagai
ustadz dan ulama, kurang diimbangi oleh yang mempunyai jam terbang sebagai
pelayan masyarakat, atau yang berkutat di akar rumput. Ilmu umum yang
mencermati agama semakin memperkaya khazanah substansi dan tampilan.
Budaya malas baca
dan gagap teknologi menjadi PR
besar pengelola media cyber dakwah. Di
masjid pun, umat Islam gemar jiping (mengaji kuping) sambil duduk santai dan
jarang terlibat dalam diskusi. Menterjemahkan
bahasa langit ke bahasa bumi sebagai resep sederhana yang tidak menggurui
pembaca. Struktur dan tampilan/tayangan konten bersifat dinamis dan atraktif
serta mempunyai nilai jual. [HaeN]
-----------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar