Jumat,
21/11/2008 01:18
Barisan penyelenggara Negara, yang dimontori dan
didominasi politikus utawa poitisi sipil dengan alasan keamanan dan keimanan;
demi kepentingan umum dan masa depan bangsa; mengutamakan ketertiban umum dan
keterbitan aturan perundangan, maka suka tak suka mudah terjadi praktek
pelintirasai fakta dan berita. Memang soal tarif lebih murah dibanding Negara
lain yang notabene lebih berkemakmuran dan bersejahteraan. Soal yang lain,
termasuk demokrasi, Nusantara termasuk negara yang terbuka. Tak ada yang tabu
dan sacral dalam trias politica.
Antar penyelenggara bisa saling unjuk gigi dan jemur
gigi. Jikalau ada persamaan, soal selera, sama-sama butuh hidup ala kadarnya.
Hidup pas-pasan serta berkepribadian. Mosok tikus birokrasi mati meninggalkan
janji. Siapa menguasai media massa akan menguasai dunia, tak ada batas ruang,
tak ada jarak tempuh, dan tak ada edaran waktu. Kemajuan teknologi komunikasi
dan informasi menyebabkan kita bisa menjelajahi dunia maya bak fatamorgana.
Citra lain media massa yaitu bisa menciptakan opini
(termasuk Opini MPR), membangkitkan sentimen pasar, membangun imej terlarang,
merangsang libido hewani, menjungkirbalikkan peradaban menjadi hiburan,
mengolah data dan fakta menjadi bahan kampanye, mensterilkan norma dan moral
menjadi ajang bisnis syahwat, mengaburkan batas antara yang hak dan yang batil,
mempercepat dan mempermudah jalur menuju dan menjadi penghuni Jahanam, dsb.
Kedua domain tadi mempunyai persamaan dalam hal jual
beli kepercayaan. Memang media massa bisa menjadi alat sakti, obat mujarab,
sarana ampuh, taktik jitu. Bukan tergantung siapa yang menggunakan, tergantung
bagaimana menggunakannya. Jadi titik temu kedua dimensi tadi adalah pada dampak
terjadinya pelintirisasi dan dramatisasi dalam segala bentuk dan tatanan hidup.
Masing pihak akan saling meyilahkan dan menyalahkan (hn).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar