Halaman

Selasa, 04 Maret 2014

Mencari Format Pekerja Politik Yang Agamis Dan Relijius

Mencari Format Pekerja Politik Yang Agamis Dan Relijius

 Ditulis : Herwin Nur 04 Maret 2014 | 09:16

Perulangan Sejarah
Memahami makna surat Al Muthaffifin (orang-orang yang berbuat curang) merupakan surat yang terakhir di Mekkah sebelum hijrah, sebagai surat ke-83 di Al-Quran,  khususnya ayat 29 s.d 36, tersurat riwayat di zaman Rasulullah yang ternyata berulang di zaman sekarang dengan karakter dan modus operandi “sama tapi tak serupa”. 
Sikap dan pandangan orang-orang kafir di dunia terhadap orang-orang yang beriman, sebagai kandungan ayat 29 s.d 36. Petinggi suku Quraisy merasa super karena silsilah, jumlah dan 3K (Kaya, Kuasa, dan Kuat). Sampai tahun ke-13 dakwah Rasulullah, terdapat dua kaum yang kontradiktif. Kaum yang mendengar dan mengikuti Rasulullah, walau jumlahnya bisa dihitung, sebagai kaum mukmin, beriman. Orang-orang  atau kaum yang memusuhi Islam, masuk kategori kaum kafir, munafik. 
Kaum kafir, munafik gemar saling mengedip-ngedipkan matanya ketikaorang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, dan hobi mengejek, menertawakan, serta dengan mudah mengatakan kaum mukmin sebagai orang-orang sesat. 
Di era Reformasi, kaum mukmin, beriman sebagai mayoritas penduduk Indonesia, namun watak kaum kafir, munafik masih terjadi. Muncul strata baru di masyarakat, misal pekerja berita, pekerja politik, pekerja entertainment yang bekerja di industrinya masing-masing. Mereka terjebak pada dogma “yang berbicara tidak berfikir, yang berfikir tidak berbicara”. Saling menghujat atau saling menjilat menjadi menu utama para pekerja politik. 
Pola Interaksi
Kita tengok Pasal 1, ayat 1, UU 28/1999 tentang “PENYELENGGARAAN NEGARA YANG BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME” :
Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Hubungan trias politika, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif ternyata bukan dalam tataran saling mendukung agar rakyat sejahtera, negara kuat. Dominasi legislatif karena memandang eksekutif sebagai pesaing, sebagai rival, sebagai seteru yang harus dilibas.           
 Interaksi negara, politik dan agama Islam pun di atas kertas tak pernah tercapai kata sepakat, hanya sebatas wacana. Andai ada formulasi hubungan yang saling menguntungkan hanya berlaku lima tahun, dan bernasib beda di periode berikutnya. Orang lupa hakikat politik adalah cara menyelenggarakan negara. 
Ironisnya, hubungan antara Ulama dengan Umara menjadi dikotomis atau dilematis, justru datangnya dari umat Islam yang mau main di dua panggung sekaligus. Kita pakai pengertian ulil amri adalah umara (pimpinan pemerintahan) bersama ulama (pemimpin agama). 
Karakter agama Islam bersifat komprehensif (syumuliah), yaitu tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual, tetapi juga mengatur segala aspek kehidupan (simak QS Al Ma`idah [5] : 3 dan QS An Nahl [16] : 89). Karenanya Islam membutuhkan eksistensi negara, dukungan formal negara agar hukum-hukum Islam dapat dilaksanakan secara utuh, menyeluruh dan total. 
Di sisi umat Islam, secara tak sadar atau karena derajat ilmu dan agamanya, memandang ‘hablumminallah’ sebagai suatu perbuatan yang semata-mata urusan hubungan manusia dengan Allah berupa peribadatan kepada Allah berupa shalat, puasa dan haji, sebaliknya kalau menyangkut ‘hablumminannas’ artinya suatu urusan hubungan sesama manusia, interaksi sosial, misalnya adab bertetangga, adab bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
Format Formal
Partai politik Islam dalam mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi umat, masih sebatas di visi dan misi serta platform di atas kertas. Main di dua panggung, yaitu panggung politik dan panggung agama, bukan yang haram, tabu, atau menyalahi kodrat. 
Pekerja politik islami, adalah dengan kendaraan partai politik masuk jajaran penyelenggara negara, mampu mengawal eksistensi agama Islam secara formal dan adat. Sebagai individu (mampu) melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya secara menyeluruh. (Herwin Nur/wasathon.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar