Halaman

Kamis, 11 Maret 2021

atas nama adab bermasyarakat

 atas nama adab bermasyarakat

 UU 17/2007 tentang RPJP 2005-2025 menjelaskan bahwa Masalah kemiskinan bersifat multidimensi, karena bukan hanya menyangkut ukuran pendapatan, melainkan karena juga kerentanan dan kerawanan orang atau masyarakat untuk menjadi miskin. Kemiskinan juga menyangkut kegagalan dalam pemenuhan hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan seseorang atau kelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

 Ternyata ‘penyakit masyarakat’ menjadi bidang garap aparat keamanan, tepatnya Polisi. Bisa kita simak UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fokus pada penjelasan Pasal 15 Ayat (1) Huruf c, yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

 Konon, yang dimaksud dengan ‘sampah masyarakat’ – karena dianggap menistakan martabat bangsa, wibawa negara serta citra pesona penguasa – maka dihapus dari kamus dan bahasa politik. Dalam praktik bernegara, lema ‘sampah masyarakat’ berkonotasi sama halnya dengan pahlawan partai. Maksudnya. Sudah menjadi bubur.

 Percepatan evolusi adab bernegara. Disebutkan secara  dejure, bahwa sudah ada pihak yang mengurus negara. Sebut saja kawanan penyelenggara negara. Rakyat tinggal terima jadi, terima pakai, terima apa adanya. Hak rakyat cuma hanya menerima, memanfaatkan serta menjaga umur teknis anugerah negara.

 Rasa bersyukur tercurah bahkan berlapis. Selain kemurahan hati negara. Ditambah kepedulian daerah sampai tingkat kelurahan/desa. Tak kurang bentuk keikhlasan wakil rakyat plus wakil daerah. Rakyat tak perlu tanya bahkan menuntut kebutuhan. Soal urusan perut, sudah menjadi kewajiban pemerintah. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar