Halaman

Selasa, 13 Oktober 2020

pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang

 pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang

 

Judul dicuplik, dicomot, di-copas utuh dari. Berkat jasa mulia manusia politik yang sedang kontrak politik di MPR 1999-2004. Terkisahkan liwat paket periwayatan, maka terjadilah Perubahan Ketiga (2001) UUD NRI 1945, dengan hasil antara lain berupa:

 

Pasal 23A

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

 

Lepas tangan daripada bagaimana UU yang dimaksud. Bukan faktor pengabaian yang menjadi trik penguasa menghadapi fakta di depan jidat. Tanpa maksud terselubung, berlapis atau model petak umpet, ada udang bungkuk di balik batu. Kiranya ada manfaat jika kita simak pengertian “pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara”.

 

Idealnya memang tidak bisa dipisahkan dengan lema ‘pajak’. Wajib pajak berlaku umum pada semua penduduk, warga negara, begitu kiranya. Secara awam, rasanya kalau sebutan pungutan, tidak asing di kuping rakyat pengguna dan atau penerima manfaat kebaikan negara. Beda pasal kebajikan, kebijakan pemerintah dengan memungut paku di jalan. Karena di jalan protokol tertentu, terdeteksi oleh CCTV Poltas ada pihak tertentu sengaja selaku penabur. penebar paku bak ranjau jalan.

 

Sejarah ‘pungutan liar’ bisa-bisa bisa senasib dengan politik uang, sama-sama peninggalan penjajah bangsa Belanda yang santun dengan agamanya. Sama-sama warisan budaya dan uang adalah benda nyata, konkret, terukur dan bernomor seri. Kecuali uang logam.

 

Pungutan mana lagi, apa saja yang menjadi andalan dan kisah nyata berkelanjutan.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar