selagi masih doyan kursi, lakukan laku ini sebelum berdiri
Semenjak anak bangsa pribumi nusantara gemar jajanan pasar tradisional. Semenjak itu pula tahu jajanan yang ringan harga, sarat gizi seimbang. Perut kenyang tapi belum ketemu nasi, tetap merasa belum makan. Sebegitunya pula hingga sampai pada zaman berkemajuan di tempat. Gaya, gengsi, gaul diri tidak lepas dari satu kursi ke kursi berikut. Tidak akan merasa kenyang dan terpuaskan. Mati berkalang kursi pun, masih merasa punya umur panjang.
Akhirnya, pakai peribahasa “sepandai-pandai tupai melompat, sesekali lompatan kurang jauh”. Soal sekali jatuh, tidak masalah. Naluri kebinatangannya, kian terasah. Jatuh ke kasur, kalau itu manusia. Sambil pandai jatuh, kaki sang tupai langsung meraih siapa saja, diajak jatuh bersama. Sama-sama berbagi rasa jatuh sebelum jatuh tempo. Memang enak, kilah si bajing subversi bahasa Jawa.
Sebutan “bajing loncat” lebih bermartabat katimbang ”kutu loncat”. Asas politik haluan merah kiri “sama rasa sama rata”, mengilhami bagi-bagi kursi. Resiko ditanggung bersama. Terjadilah kejadian alami berkebangsaan “éfék mégatéga, mégakorup mitra mégatéror”.
Mengacu satu judul dekat “dilema
demokrasi nusantara, kekurangan kursi vs
kelebihan pantat”, date modified 8/26/2020 7:37 PM. Tindak-tanduk
pertupaian membuat demokrasi nusantara melahirkan laku” tupai(an)” sesuai
filosofi kebatinan wong Jawa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar