INDONESIA–ku, sok
presiden vs presiden sok
Efek domino revolusi
mental, kesenjangan antara pihak pengguna aneka ujaran berbasis kebencian,
kebohongan dan penistaan agama (baca: di dominasi penguasa plus bolo dupak, antèk, cecunguk, gedibal) dengan pihak pemirsa, pendengar, pembaca di rumah dan di mana saja (yang
mengutamakan persatuan dan kesatuan).
Contoh klasik adanya
umpatan, makian: sok jago, sok pahlawan, sok pandai, . . . . Menjadi ungkapan
standar oleh kawanan penguasa yang jenis kelaminnya di bawah standar.
Perlu dicatat, kawanan
loyalis penguasa bukannya tak menyandang gelar akademis. Saking pintarnya –
beda dengan sok pintar – tindak tuturnya tanpa proses jiwa. Otomatis dan daya
reflektif tinggi. Sanggup meratabumikan pihak yang mengkritisi pepundènnya yang
oknum ketua umu sebuah parpol.
Kisah nyata berdasarkan
rekam jejak sejarah pemerintah 2014-2019.
Praktik demokrasi
menghadirkan jabatan presiden senior. Oknum ketua umum parpol pendukung
presiden menjadi mitra sejajar. Anak cucu ideologis merasa wajib mendapat hak
politik di atas rata-rata nasional.
Ruang gerak presiden,
sebagai bahan propaganda, pariwara. Mulai dari acara kenegaraan, seremonial. Serta
langsung ke hal-hal yang seolah merakyat. Mengandalkan pasal blusukan dengan
harapan bahwa negara hadir di setiap keluhan rakyat. Tak terkeculai mendatangi
anggota kawal yang menikah.
Bersyukur, walau secara administratif,
wilayah tempat tinggal berbatasan langsung dengan ibukota NKRI. Telinga dan
hati nurani, jiwa yang tenang tak terkontaminasi propaganda, pariwara di bawah
standar normal. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar