Halaman

Rabu, 18 Juli 2018

INDONESIA–ku, sok presiden vs presiden sok


INDONESIA–ku, sok presiden vs presiden sok

Efek domino revolusi mental, kesenjangan antara pihak pengguna aneka ujaran berbasis kebencian, kebohongan dan penistaan agama (baca: di dominasi penguasa plus bolo dupak, antèk, cecunguk, gedibal) dengan pihak pemirsa, pendengar, pembaca di rumah dan di mana saja (yang mengutamakan persatuan dan kesatuan).

Contoh klasik adanya umpatan, makian: sok jago, sok pahlawan, sok pandai, . . . . Menjadi ungkapan standar oleh kawanan penguasa yang jenis kelaminnya di bawah standar.

Perlu dicatat, kawanan loyalis penguasa bukannya tak menyandang gelar akademis. Saking pintarnya – beda dengan sok pintar – tindak tuturnya tanpa proses jiwa. Otomatis dan daya reflektif tinggi. Sanggup meratabumikan pihak yang mengkritisi pepundènnya yang oknum ketua umu sebuah parpol.

Kisah nyata berdasarkan rekam jejak sejarah pemerintah 2014-2019.

Praktik demokrasi menghadirkan jabatan presiden senior. Oknum ketua umum parpol pendukung presiden menjadi mitra sejajar. Anak cucu ideologis merasa wajib mendapat hak politik di atas rata-rata nasional.

Ruang gerak presiden, sebagai bahan propaganda, pariwara. Mulai dari acara kenegaraan, seremonial. Serta langsung ke hal-hal yang seolah merakyat. Mengandalkan pasal blusukan dengan harapan bahwa negara hadir di setiap keluhan rakyat. Tak terkeculai mendatangi anggota kawal yang menikah.

Bersyukur, walau secara administratif, wilayah tempat tinggal berbatasan langsung dengan ibukota NKRI. Telinga dan hati nurani, jiwa yang tenang tak terkontaminasi propaganda, pariwara di bawah standar normal. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar