Halaman

Senin, 30 Juli 2018

presiden RI kedelapan bukan satria piningit


presiden RI kedelapan bukan satria piningit

Anak bangsa pribumi selalu yakin diri dengan asas “noto negoro” saat mau memilah dan memilih bakal calon presiden periode mendatang. Mulai presiden pertama sampai presiden keenam, otak-atik rumus buntut tadi dianggap cocok, jitu.

Kendati nama oknum presiden ketujuh, jelas-jelas nama wong Jawa. Karena di pangku Ibu Pertiwi, menjadi ahli penurut yang tak banyak menuntut. Karakter atau makna nama dan terkait dengan logika “noto negoro”, menghasilkan goro-goro.

Siapa jadi apa sampai siapa lagi yang akan, bisa dimangsa, menjadi menu politik penguasa 2014-2019 berbasis revolusi mental serta loyalitas total kopral. Mégaéféknya sampai bumbu dapur`rakyat harus impor.

Kali ini, relawan yang belum mendapatkan remah-remah pesta demokrasi, berharap dengan segala sisa asanya. Bau surga dunia saja tak sempat mencium. Mengalirnya bukan ke tempat ke paling rendah. Kebalikannya. Daya sedot tinggi ada di puncak piramida penyelenggara negara.

Memang, ada masyarakat yang cukup beruntung. Naik kasta dan dengan segala modusnya berupaya tak tergelincir ke tempat semula. Diuntungkan dengan adanya kontradiksi kepentingan politik vs kekuatan ekonomi. Sama-sama main. Sama-sama merasa diuntungkan.

Akhirnya, presiden kedepalan RI akan mendapat beban ganda, bertumpuk, sisa peninggalan periode sebelumnya. PR bangsa semakin mangkrak. Ditunda demi kepentingan umum tapi minoritas. Minoritas tapi mayoritas dalam hal daya beli, daya belanja, daya borong.

Efektivitas, kemanfaatan nilai tukar presiden ketujuh RI, semakin dijabarkan, dibeberkan malah semakin memperjelas mana yang penuh tambal sulam. Mana yang sudah usang, uzur, minimal jatuh tempo. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar