presiden RI kedelapan
bukan satria piningit
Anak bangsa pribumi selalu yakin diri dengan asas
“noto negoro” saat mau memilah dan memilih bakal calon presiden periode
mendatang. Mulai presiden pertama sampai presiden keenam, otak-atik rumus
buntut tadi dianggap cocok, jitu.
Kendati nama oknum presiden ketujuh, jelas-jelas
nama wong Jawa. Karena di pangku Ibu Pertiwi, menjadi ahli penurut yang tak
banyak menuntut. Karakter atau makna nama dan terkait dengan logika “noto
negoro”, menghasilkan goro-goro.
Siapa jadi apa sampai siapa lagi yang akan, bisa
dimangsa, menjadi menu politik penguasa 2014-2019 berbasis revolusi mental
serta loyalitas total kopral. Mégaéféknya sampai bumbu dapur`rakyat harus
impor.
Kali ini, relawan yang belum mendapatkan
remah-remah pesta demokrasi, berharap dengan segala sisa asanya. Bau surga dunia
saja tak sempat mencium. Mengalirnya bukan ke tempat ke paling rendah. Kebalikannya.
Daya sedot tinggi ada di puncak piramida penyelenggara negara.
Memang, ada masyarakat yang cukup beruntung. Naik kasta
dan dengan segala modusnya berupaya tak tergelincir ke tempat semula. Diuntungkan
dengan adanya kontradiksi kepentingan politik vs kekuatan ekonomi. Sama-sama
main. Sama-sama merasa diuntungkan.
Akhirnya, presiden kedepalan RI akan mendapat beban
ganda, bertumpuk, sisa peninggalan periode sebelumnya. PR bangsa semakin
mangkrak. Ditunda demi kepentingan umum tapi minoritas. Minoritas tapi
mayoritas dalam hal daya beli, daya belanja, daya borong.
Efektivitas, kemanfaatan nilai tukar presiden
ketujuh RI, semakin dijabarkan, dibeberkan malah semakin memperjelas mana yang
penuh tambal sulam. Mana yang sudah usang, uzur, minimal jatuh tempo. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar