Butir-Butir Telur Ayam
Pada Sila-Sila Pancasila
Pakai
logika awam, semua masalah kehidupan akan mudah dicerna. Tidak perlu saling
menyalahkan atau mencari “bandot tua”. Juga bukan dengan gaya ‘ringan sama
dijinjing, berat pikul sendiri’. Salah rakyat mengapa terpukau, terjebak hanya
pada kinclongnya parpol pendukung. Tidak ada tanggung renteng.
Rakyat terlanjur
mencoblos beda nasib dengan kontestan yang asal nyeplos, ujaran bebas janji kampanye. Akumulasinya, rakyat
berharap pada pesta demokrasi periode yad, sudah dewasa dan cerdas ideologi.
Semakin
rakyat sadar politik dan cerdas idelogi, secara matematis akan menentukan
besaran biaya politik. Bukan sekedar beli suara dengan cara serangan fajar. Membibit
usaha nyata bakal calon pemilih.
Kondisi
ini malah semakin membuka jalan bagi pengusaha klas abal-abal. Mengandalkan
tangan politik, untuk main dukung. Demi dan untuk kepentingan bisnisnya. Sepertinya
kalau koperasi usaha rakyat, dijadikan motor penggerak, pemberi suara pada
oknum capres. Namanya dagang politik.
Anak bangsa
pribumi yang pernah mengalami pergulatan gizi zaman ayam makan silet. Beda dengan daya juang generasi putra-putri
terbaik bangsa yang gizinya dipenuhi gelundungan telur ayam. Generasi pewaris
zaman Orde Baru, seolah tinggal “meluruskan langkah”. Tersisa langkah aman.
Generasi
Pancasila masih terpukau dengan gaya Orde Lama. Selalu merasa hidup di bawah bayang-bayang
leluhur dan sekaligus merekayasa atau merasa eksis di angan-angan masa depan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar