menang secara kesatria
vs menerima kekalahan secara kesatria
Bukan cerita pewayangan. Terdapat kasta
tokoh satria dan tersedia strata sosok raksasa maupun raksasi. Ada di panggung
politik Nusantara. Berisi antrian anak wayang dengan aneka karakter yang sudah
baku, pakem, standar atau resultannya.
Bedanya, tokoh satria dari unsur
partai pilitik, entah manusia politik banget atau manusia politik saja,
bisa-bisa berwatak raksasa. Ditengarai dengan rakus jabatan, haus kekuasaan,
kekuatan dan kekayaan (ini kawan, kan bernama berhala reformasi 3K).
Model tampang brangasan, petakilan manusia politik, memang
sudah dari sono-nya. Terkait watak dan temparemen SARA-nya. Termasuk tergantung
asupan gizi dan nutrisi sejak dalam kandungan. Biasa main serudak-seruduk untuk
mau ke depan gawang lawan.
Jadi, jika watak satria menjadi
syarat utama anak politik, anak wayang politik dipastikan partai politik tak
akan laku. Yang ingin bermain cantik, berjalan lurus, lempeng, akan tersingkir
sebelum di awal penyisihan adminsitrasi dan wawancara.
Kalah menang dalam pertandingan
antar partai politik, menggunakan aturan raihan skore. Bak piala dunia
bal-balan. Pola yang disajikan pasti sarat dengan adu taktik di atas kertas. Mendatangkan
investor asing bukan pasal licik. Bermitra dengan bandar politik asing, bukan
pasal anti-nasionalisme.
Sejarah politik selalu menyajikan
bahwa pihak yang menang, juara umum dalam pesta demokrasi, tampil gagah. Tepuk dada,
membusungkan kepala, acungkan tinju. Minta lawan yang lebih tangguh. Tak percuma
menggelontorkan biaya politik Rp maupun valas. Utang tetap utang. Beda nasib,
dengan yang juara kedua atau kalah suara, kalah skore. Mencak-mencak dengan
segala jurus dan aneka tipu-tpu muslihat.
Kendati rakyat pemilih sudah tidak
memilih kucing garong dalam karung. Awalya memang bak kucing garong, nyatanya
malah buaya darat lepas ke air. Kebanyakan modal baju kebesaran leluhurnya. Agar
tampak starianya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar