demokrasi nusantara sarat ramuan
Wajar bin nalar, jika ada menteri terpilih lagi di periode kedua dengan presiden yang sama. Era presiden keenam RI maupun zaman presiden ketujuh RI. Jika sang menteri menduduki nomenklatur yang sama, bisa diartikan prestasi, kinerja teknis berimbang dengan kondite politik. Minimal rekam jejak diterima semua pihak. Konflik multipihak masih pada ambang toleransi.
Lain pasal beda perkara. Jika di periode kedua, sang pembantu presiden bergeser jabatan ke kementerian lain. Terjadi di rezim petugas partai. Hanya ada dua kemungkinan besar.
Pertama utama. Di atas kursi presiden masih ada kursi lain. Pihak penentu “siapa menjadi apa”. Tarif progresif biaya politik jilid kedua, bukan sekedar lelang bebas. Koalisi partai pro-penguasa dibenturkan frontal dengan lawan politik di pilpres 2019. Pilkada serentak 2020 menjadi batu loncatan, barometer pilpres 2024.
Kedua tapi bukan yang terakhir. Ada biang kerok di balik punggung presiden. Bagian dari tirani minoritas yang berlaku di saham politik lokal nusantara. Efektivitas per(dukun)gan sistem multipartai. Ketimbang negara rusuh berkelanjutan. Itupun, dengan bagi-bagi kursi, negara malah masuk bencana politik aneka macam, segala jenis.
Masih banyak fakta yang hanya diketahui. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar