entas miskin ideologi vs eliminasi kufur ideologi
Menu ideologi yang tersaji di panggung politik
Nusantara, bak rumah makan Minang, bak gerai cepat saji tidak pakai lama, bak
warteg atau gudeg lesehan sampai yang bisa pesan online.
Bukan itu masalahnya, kalau dikatakan efek domino
negara multipartai. Justru semakin minim daya ideologi dan/atau semakin kufur
daya ideologi bangsa diimbangi dengan banyaknya partai politik.
Jangan disalahkan jika ada dinasti politik, partai
politik sebagai perusahaan keluarga. Bahkan akibat warisan darah ideologis,
menjadikan partai politik sebagai agama. Minimal sebagai aliran kepercayaan.
Di era Orde Baru, dikatakan Golongan Karya bisa
menjadi pabrik pejabat, mesin cetak generasi kuning yang siap mendapat limpahan
kursi berbagai ukuran.
Di era utawa periode 2014-2019, partai politik
mampu mencetak pemain watak yang siap melakoni lakon apa saja. Koleksi wayang
golek dengan ciri warna menunjukkan karakter. Namun masih kalah banyak dengan
watak dasar dan karakter wayang politik. Antara watak raksasa dengan jiwa satria,
bercampur baur dalam satu wadah. Menyesuaikan diri dengan kebijakan partai.
Wayang politik dengan penuh gaya tampil di segala
cuaca. Asas taat, loyal, patuh yang akan menentukan modus gerakan politik. Tata
niaga ideologi semakin menunjukkan titik retak bangsa. Titik retak bangsa
menuju skala lampu kuning.
Asumsi politik bahwa kepala negara sebagai petugas
partai, semangkin menunjukkan betapa gegar politik dimulai dari atas, dari
pucuk, dari kepala. Tak salah, semangkin jauh dari rakyat maka akan bebanding
lurus dengan lemahnya sinyal Pancasila.
Jangan diasumsikan, kalau di kalangan pejabat, penyelenggara
negera, penguasa yang steril atau jauh dari rakyat, maka sinyal Pancasila
tinggal sisa-sisa daya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar