Halaman

Minggu, 17 September 2017

entas miskin ideologi vs eliminasi kufur ideologi



entas miskin ideologi vs eliminasi kufur ideologi

Menu ideologi yang tersaji di panggung politik Nusantara, bak rumah makan Minang, bak gerai cepat saji tidak pakai lama, bak warteg atau gudeg lesehan sampai yang bisa pesan online.

Bukan itu masalahnya, kalau dikatakan efek domino negara multipartai. Justru semakin minim daya ideologi dan/atau semakin kufur daya ideologi bangsa diimbangi dengan banyaknya partai politik.

Jangan disalahkan jika ada dinasti politik, partai politik sebagai perusahaan keluarga. Bahkan akibat warisan darah ideologis, menjadikan partai politik sebagai agama. Minimal sebagai aliran kepercayaan.

Di era Orde Baru, dikatakan Golongan Karya bisa menjadi pabrik pejabat, mesin cetak generasi kuning yang siap mendapat limpahan kursi berbagai ukuran.

Di era utawa periode 2014-2019, partai politik mampu mencetak pemain watak yang siap melakoni lakon apa saja. Koleksi wayang golek dengan ciri warna menunjukkan karakter. Namun masih kalah banyak dengan watak dasar dan karakter wayang politik. Antara watak raksasa dengan jiwa satria, bercampur baur dalam satu wadah. Menyesuaikan diri dengan kebijakan partai.

Wayang politik dengan penuh gaya tampil di segala cuaca. Asas taat, loyal, patuh yang akan menentukan modus gerakan politik. Tata niaga ideologi semakin menunjukkan titik retak bangsa. Titik retak bangsa menuju skala lampu kuning.

Asumsi politik bahwa kepala negara sebagai petugas partai, semangkin menunjukkan betapa gegar politik dimulai dari atas, dari pucuk, dari kepala. Tak salah, semangkin jauh dari rakyat maka akan bebanding lurus dengan lemahnya sinyal Pancasila.

Jangan diasumsikan, kalau di kalangan pejabat, penyelenggara negera, penguasa yang steril atau jauh dari rakyat, maka sinyal Pancasila tinggal sisa-sisa daya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar