Halaman

Rabu, 22 Maret 2017

tong sampah mukiyo berlabel media sosial



tong sampah mukiyo berlabel media sosial

Kebebasan serba bebas untuk berujar kebencian, mengumpat, memaki, serta menista, menodai agama dengan ucapan dan tindakan. Bebas mengolah kata dan ucapan berdaya fitnah, provokasi, memputarbalikkan fakta. Bebas tanpa hambatan berkoar tanpa seleksi dan intervensi hati. Apalagi jika ditayangkan langsung oleh awak media.

Mahir berkelit menghindar tanggung jawab jabatan. Ahli dalam tata niaga berbasis berita asli tapi bohong. Cakap menggunakan bahasa kampanye agar tampak berisi, berotot dan bukan imitasi atau abal-abal. Piawai bersilat lidah dan adu argument berdasarkan kasus dan tarif.

Tak urung media swasta atau perorangan yang berbayar dengan gagah membodohi rakyat dengan nyata dan terang-benderang. Kesemuanya tadi, berikut yang tak sempat diliput,  menjadi bagian intergral dari demokrasi 2014-2019. Jangan lupa kawan, masih ada oknum penyenggara negera yang bisanya duduk manis, berpangku tangan, goyang lidah, goyang kaki dan main tunjuk. Maklum telunjuknya “sakti”, sedang naik daun berkat menang label, menang merek.

Beda mencolok pada pelakunya. Artinya pada sanksi yang diberlakukan.

Jika penyelenggara negara yang masih aktif, tersandung kasus mengeluarkan “isi tong sampah”nya, maka bahasa politik di atas bahasa hukum. Tidak bisa dipidana dengan pasal apapun. Pihak yang akan mempidanakan, malah akan cari perkara, cari penyakit, cari gara-gara. Naga kok dilawan.

Wajar, jika ternyata nyatanya malah ada pihak yang menggunakan kemajuan TIK untuk urusan kepentingan dan keperluannya. Kode etik jurnalistik hanya berlaku bagi jurnalis. Tidak untuk masyarakat umum, apalagi masyarakat khusus yang sedang berkuasa. Tidak pandang bulu, apakah itu orang sipil atau dari kalangan militer/polisi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar