tong sampah mukiyo berlabel media sosial
Kebebasan serba bebas
untuk berujar kebencian, mengumpat, memaki, serta menista, menodai agama dengan
ucapan dan tindakan. Bebas mengolah kata dan ucapan berdaya fitnah, provokasi,
memputarbalikkan fakta. Bebas tanpa hambatan berkoar tanpa seleksi dan
intervensi hati. Apalagi jika ditayangkan langsung oleh awak media.
Mahir berkelit menghindar
tanggung jawab jabatan. Ahli dalam tata niaga berbasis berita asli tapi bohong.
Cakap menggunakan bahasa kampanye agar tampak berisi, berotot dan bukan imitasi
atau abal-abal. Piawai bersilat lidah dan adu argument berdasarkan kasus dan
tarif.
Tak urung media swasta
atau perorangan yang berbayar dengan gagah membodohi rakyat dengan nyata dan
terang-benderang. Kesemuanya tadi, berikut yang tak sempat diliput, menjadi bagian intergral dari demokrasi
2014-2019. Jangan lupa kawan, masih ada oknum penyenggara negera yang bisanya
duduk manis, berpangku tangan, goyang lidah, goyang kaki dan main tunjuk. Maklum
telunjuknya “sakti”, sedang naik daun berkat menang label, menang merek.
Beda mencolok pada
pelakunya. Artinya pada sanksi yang diberlakukan.
Jika penyelenggara
negara yang masih aktif, tersandung kasus mengeluarkan “isi tong sampah”nya,
maka bahasa politik di atas bahasa hukum. Tidak bisa dipidana dengan pasal
apapun. Pihak yang akan mempidanakan, malah akan cari perkara, cari penyakit,
cari gara-gara. Naga kok dilawan.
Wajar, jika ternyata nyatanya
malah ada pihak yang menggunakan kemajuan TIK untuk urusan kepentingan dan
keperluannya. Kode etik jurnalistik hanya berlaku bagi jurnalis. Tidak untuk
masyarakat umum, apalagi masyarakat khusus yang sedang berkuasa. Tidak pandang
bulu, apakah itu orang sipil atau dari kalangan militer/polisi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar