béla negara mbokdé mukiyo, bukan jual
negara
Busana Jawa yang dipakai si mbok penjual pecel
keliling perumahan, kebaya putih, jarik, dan selendang. Terbitnya khusus sore
hari, kalau pagi suaminya dengan gerobag dorong jualan tapai singkong.
Si mbok
dengan setia jalan kaki sambil menyunggi
tampah, sambil teriak santai : “Pecel, pecel …. “. Rutenya tidak tentu. Kalau perlu
bisa bolak-balik. Bumbu pecel siap pakai di panci. Diletakkan di tengah tampah,
dikelilingi aneka sayuran matang, bakmi kuning dan gorengan. Gorengan bukan
sebagai bonus, tapi lauk yang dijual. Terkadang juga jual nasi bumgkus.
Orang lewat pun ikut beli, jika si mbok sedang
melayani ibu rumah tangga. Inilah seninya. Jika ada yang beli, tetangga yang
lihat ikut-ikutan beli. Jualnya bukan pakai porsi, tetapi sesuai permintaan. Anak
sekolah yang beli ala kadarnya, tetap dilayani dengan senyum. Siap kertas nasi
sebagai bungkus atau alas jika yang beli bawa piring sendiri.
Si mbok tidak mengenal kata pensiun. Sudah lebih
dari tiga dasa warsa jualan pecel. Cuma sang suami sudah istirahat di rumah,
tenaga tidak mampu dorong gerobag tapai. Tapi, sesekali mereka berdua jalan
kaki sambil membawa bahan bangunan bekas. Untuk menambal rumahnya.
Regenerasi versi si mbok penjual pecel juga
terjadi. Anak menantunya jualan bubur ayam, pakai gerobag. Melayani warga atau
orang lewat yang mau sarapan. Mangkal berpindah-pindah sesuai jam jual. Tengah hari
atau usai dzuhur, balik ke rumah.
Beberapa kali sang suami jual tapai, ditemani
isterinya. Mau alih profesi. Isterinya diajari cara menjual tapai. Ada yang
beli setengah kilo, dilayani. Bagaimana cara menimbang. Ada yang beli eceran,
atau dengan uang yang ada, tetap dilayani, tanpa ditimbang. Alasan sang suami,
banyak juga PSK (pedagang sayur keliling) ibu-ibu dengan gerobag dorong. Tentu lebih
besar dan berat dibanding gerobag tapai.
Suatu ketika, cerita si mbok penjual pecel, karena
suami sakit, mau tak mau mencoba jual tapai. Dorong gerobag tidak begitu berat,
ujarnya. Masalahnya cuma satu, waktu teriak menjajakan tapai, karena kebiasaan
jual pecel, yang keluar dari mulutnya : “Pecel, pecel ….. “. Yang mau beli jadi
geli dan bingung. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar