Halaman

Minggu, 05 April 2015

asupan gizi 1000 hpk, perlu dukungan pengetahuan ortu

asupan gizi 1000 hpk, perlu dukungan pengetahuan ortu


DI ATAS KERTAS
Bentuk kepedulian pemerintah kepada gizi anak diwujudkan secara yuridis melalui komitmen politik berbentuk Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tentang “GERAKAN NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI”. Perpres 42/2013 sebagai rangkaian sasaran pembangunan pangan dan gizi dalam RPJMN 2010-2014 dan RAN-PG 2011-2015 untuk menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita, termasuk stunting (anak pendek jika dibandingkan dengan standar normal).

Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK).

1000 HPK adalah fase kehidupan yang dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai anak berusia 2 (dua) tahun. Seribu hari terdiri dari, 270 hari selama kehamilan dan 730 hari kehidupan pertama sejak bayi dilahirkan. Periode ini disebut periode emas (golden periode) atau disebut juga sebagai waktu yang kritis, yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terjadi kerusakan yang bersifat permanen (window of opportunity).

Jika Perpres 42/2013 dibedah seksama, seolah tidak ada yang salah apalagi kurang secara substansial. Malah patut dibilang komplit, layak disebut lengkap, pantas dianggap paripurna. Bayangkan, Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi yang diutarakan atau sebagai acuan untuk menjelaskan berbagai faktor penyebab masalah gizi, termasuk "Stunting", lazimnya digunakan model UNICEF.  

Menurut model UNICEF diketahui penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung dari masalah gizi adalah kurangnya asupan gizi dan terbatasnya pelayanan kesehatan dasar. Penyebab tidak langsung adalah terbatasnya aksesibilitas pangan, pola asuh yang kurang baik, dan terbatasnya kesediaan air minum dan sanitasi yang layak. Akar masalah dari penyebab langsung dan tidak langsung adalah kemiskinan, tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, daya beli yang rendah, sanitasi lingkungan yang buruk.


PELAKU TUNGGAL
Jika ternyata, sesuai berita yang bisa kita simak di REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu, 04 April 2015, 09:17 WIB, berjudul “Indonesia Masuk Zona Darurat Gizi Anak”. Dikisahkan : Indonesia saat ini masuk dalam zona darurat gizi dari 117 negara di dunia, kata Direktur Bina Gizi, Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy.
"Dari 117 negara di dunia, Indonesia masuk dalam darurat gizi dengan tiga dampak yang ditimbulkannya pada tumbuh kembang anak," katanya menanggapi kondisi gizi anak di Indonesia, Sabtu (4/4/2015).

Ketiga dampak yang ditimbulkan tersebut, ungkap Doddy, anak mengalami "stunting" yakni tinggi badan tidak sesuai dengan usianya (pendek), berbadan kurus yang akan memicu gizi buruk dan berbadan gemuk yang memicu obesitas.

Sementara untuk perbaikan generasi dalam mencegah terjadinya "stunting", lanjut dia, dibutuhkan waktu sekitar 100 tahun, sehingga sudah saatnya perbaikan gizi itu dimulai dari sekarang. Berdasarkan data Global Utusan Report yang dilaporkan ke Bappenas diketahui, jumlah bayi dan balita yang mengalami "stunting" (bertubuh pendek) di Indonesia mencapai 8,8 juta jiwa dari sekitar 45 juta jiwa total balita.

Andai Indonesia masuk zona darurat gizi anak, sebagai kondisi aktual dan faktual, apakah salah prosedur, salah alamat, salah sasaran  atau siapa yang patut dijadikan kambing hitam. Sebelum menetukan atau memvonis, kita cek ulang ikhwal di atas kertas. Tepatnya kita simak Pedoman Perencanaan Program “Gerakan Sadar Gizi Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)”, versi 5 Sept ’12, khususnya pada :

Visi gerakan 1000 HPK adalah terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi untuk memenuhi hak dan berkembangnya potensi ibu dan anak.

Misi gerakan 1000 HPK: i. Menjamin kerjasama antar berbagai pemangku kepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi setiap ibu dan anak. ii. Menjamin dilakukannya pendidikan gizi secara tepat dan benar untuk meningkatkan kualitas asuhan gizi ibu dan anak.

Tersimpulkan, ibu dan anak menjadi satu paket, menjadi satu sistem.

TRADISI GIZI
Orang tua dalam memberikan asupan gizi ke anak berdasarkan pengalaman pribadi. Apa yang dilakukan orang tuanya dulu, menjadi acuan pertama dan utama. Terlebih jika ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga (rumga), sebagai ratu dapur. Semua yang dialami menjadi “pengetahuan”, menjadi harga mati dan akan dilakukan setelah menjadi orang tua.

Pengetahuan tentang ‘4 Sehat 5 Sempurna’ diperoleh dari warisan orang tua. Dimulai dari melihat ibunya belanja sampai menyaksikan langsung praktek ibunya di dapur. Bahan baku olahan, cara mengolah sampai cara menyajikan terekam kuat dalam memorinya.

Perubahan terjadi karena pengaruh pariwara, menjadi korban iklan, terkontaminasi rayuan produk teknologi dan industri pangan yang terpampang di toko. Makanan ringan, minuman lunak yang disajikan menarik mata dengan harga terjangkau. Kemasan pabrik sampai hasil olah kuliner lokal, yang terkadang bernuansa perasa buatan, pewarna buatan, dan penggunaan zat pengawet, sebagai santapan utama pengganti nasi.

Celakanya, orang tua, atau ibu zaman sekarang tak mau repot dengan urusan dapur. Kebutuhan santapan bisa dibeli di warung terdekat. Sejak dini, bayi dikenalkan dengan produk cepat saji. Bubur dalam kemasan, makanan ringan dengan aneka rasa dan mengenyangkan menjadi menu favorit ibu rumga. Cepat olah, cepat saji, praktis menjadi gaya hidup kaum ibu untuk urusan dapur.

Pengetahuan ibu, yang penting perut anak terisi, tidak rewel. Soal gizi, mejadi pasal terakhir. Bahasa langit pemerintah di Pepres 42/2013 tidak sekedar susah dan sulit diterjemahkan kedalam kehidupan nyata di bumi. Bahasa bumi seolah statis, lebih ditentukan tradisi, atau menjaga kearifan lokal. Jangan salahkan pemerintah yang menjadi korban perdagangan bebas dunia. Makanan/minuman full gizi masuk Indonesia tanpa sensor, bebas melenggang masuk, bebas mendesak produk lokal tanpa sanksi.

PERJUANGAN LELAKI
Di pihak lain, terjadi betapa perjuangan cinta lelaki mencari calon ibu untuk anaknya tak akan pernah berakhir, ketika Allah mengkabulkan perjuangannya, akan memasuki babakan selanjutnya. 

Lelaki jangan lupa dengan asas ber-rumah tangga, membentuk keluarga islami, menyiapkan keturunan yang  tidak sekedar sebagai penerus silsilah, tetapi sebagai generasi masa depan dalam prespektif Islam, bahkan sebagai investasi akhirat. Perjalanan hidup dan masa depan anak diwarnai oleh akumulasi, gabungan maupun resultan dari emosi dan karakter ibu bapaknya. 

Biasanya, tradisi gizi akan berlanjut dengan tradisi lainnya, misal tradisi pendidikan anak. Lelaki dengan modal ijazah SMA berani mencari kerja, berani nikah, berani menumpang hidup di rumah orang tua atau berani tinggal di pondok mertua indah. Lelaki pemberani ini bisa masuk kuadran “dengan ijazah SMA bekerja, berharap anaknya lulus SMA sudah cukup”.  Seolah hidup hanya meng-copy paste dirinya ke anaknya.

GENERASI MASA DEPAN
Islam telah mewajibkan bagi orang tua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya, dan juga  tidak durhaka kepada mereka. Menyiapkan anak atau generasi masa depan, mengacu terjemahan [QS An-Nisaa’ (4) : 9] : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Adab berkeluarga atau membangun rumah tangga tidak terlepas dari peran dua insan yang berlainan jenis, pasangan suami-istri (pasutri) di dalamnya, mereka melaksanakan akad nikah sebagai ibadah dan sunnatullah. Interaksi yuridis dan biologis pasutri untuk mendapatkan anak keturunan sekaligus penerus generasi masa depan.

Al-Qur’an telah memberikan peringatan dini, agar kita tidak meninggalkan generasi lemah. Generasi penerus yang diharapkan adalah generasi yang unggul, tangguh, ulet dan tahan banting. Generasi prospektus yang dapat meneruskan tongkat estafet perjuangan. Bukan generasi yang lemah secara akhlak, fisik, emosi, ekonomi, spiritual, atau pun ilmunya, khususnya lemah aqidah.

Anak merupakan keturunan dari satu keluarga, yang menjadi mata rantai keberadaan manusia dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi orang tua, anak merupakan harapan sekaligus amanah dari Allah SWT. Kewajiban orang tua mulai memberi nama yang bermakna baik, memberi pendidikan, agama dan pengajaran sampai dicarikan jodoh atau dinikahkan. Al-Qur’an  menyuratkan anak sebagai perhiasan kehidupan dunia; penyenang hati; menjadi musuh; hanyalah sebagai cobaan; dan janganlah orang tua membunuh anak-anaknya karena takut kemiskinan [HaeN].





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar