asupan gizi 1000 hpk, perlu dukungan pengetahuan ortu
DI ATAS KERTAS
Bentuk kepedulian
pemerintah kepada gizi anak diwujudkan secara yuridis melalui komitmen politik
berbentuk Peraturan Presiden nomor 42 tahun 2013 tentang “GERAKAN
NASIONAL PERCEPATAN PERBAIKAN GIZI”. Perpres 42/2013 sebagai rangkaian sasaran
pembangunan pangan dan gizi dalam RPJMN 2010-2014 dan RAN-PG 2011-2015 untuk
menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada balita, termasuk stunting
(anak pendek jika dibandingkan dengan standar normal).
Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui
penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana
dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada
seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK).
1000 HPK adalah fase kehidupan
yang dimulai sejak terbentuknya janin dalam kandungan sampai anak berusia 2
(dua) tahun. Seribu hari terdiri dari, 270 hari selama kehamilan dan 730 hari
kehidupan pertama sejak bayi dilahirkan. Periode ini disebut periode emas (golden
periode) atau disebut juga sebagai waktu yang kritis, yang jika tidak
dimanfaatkan dengan baik akan terjadi kerusakan yang bersifat permanen (window
of opportunity).
Jika Perpres 42/2013 dibedah
seksama, seolah tidak ada yang salah apalagi kurang secara substansial. Malah patut
dibilang komplit, layak disebut lengkap, pantas dianggap paripurna. Bayangkan,
Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi yang diutarakan atau sebagai acuan untuk
menjelaskan berbagai faktor penyebab masalah gizi, termasuk "Stunting",
lazimnya digunakan model UNICEF.
Menurut model UNICEF
diketahui penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung dari masalah
gizi adalah kurangnya asupan gizi dan terbatasnya pelayanan kesehatan dasar.
Penyebab tidak langsung adalah terbatasnya aksesibilitas pangan, pola asuh yang
kurang baik, dan terbatasnya kesediaan air minum dan sanitasi yang layak. Akar
masalah dari penyebab langsung dan tidak langsung adalah kemiskinan, tingkat
pendidikan masyarakat yang rendah, daya beli yang rendah, sanitasi lingkungan
yang buruk.
PELAKU TUNGGAL
Jika ternyata,
sesuai berita yang bisa kita simak di REPUBLIKA.CO.ID,
Sabtu, 04 April 2015, 09:17 WIB, berjudul “Indonesia Masuk Zona Darurat
Gizi Anak”. Dikisahkan : Indonesia
saat ini masuk dalam zona darurat gizi dari 117 negara di dunia, kata Direktur Bina
Gizi, Kementerian Kesehatan Doddy Izwardy.
"Dari 117 negara di dunia, Indonesia masuk dalam darurat gizi dengan
tiga dampak yang ditimbulkannya pada tumbuh kembang anak," katanya
menanggapi kondisi gizi anak di Indonesia, Sabtu (4/4/2015).
Ketiga dampak yang ditimbulkan tersebut, ungkap Doddy, anak mengalami
"stunting" yakni tinggi badan tidak sesuai dengan usianya
(pendek), berbadan kurus yang akan memicu gizi buruk dan berbadan gemuk yang
memicu obesitas.
Sementara untuk perbaikan generasi dalam mencegah terjadinya "stunting",
lanjut dia, dibutuhkan waktu sekitar 100 tahun, sehingga sudah saatnya
perbaikan gizi itu dimulai dari sekarang. Berdasarkan data Global Utusan Report
yang dilaporkan ke Bappenas diketahui, jumlah bayi dan balita yang mengalami
"stunting" (bertubuh pendek) di Indonesia mencapai 8,8 juta
jiwa dari sekitar 45 juta jiwa total balita.
Andai Indonesia masuk zona darurat gizi anak, sebagai kondisi aktual dan
faktual, apakah salah prosedur, salah alamat, salah sasaran atau siapa yang patut dijadikan kambing
hitam. Sebelum menetukan atau memvonis, kita cek ulang ikhwal di atas kertas.
Tepatnya kita simak Pedoman Perencanaan Program “Gerakan Sadar Gizi Dalam
Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK)”, versi 5 Sept ’12, khususnya
pada :
Visi gerakan 1000 HPK adalah terpenuhinya
kebutuhan pangan dan gizi untuk memenuhi hak dan berkembangnya potensi ibu dan
anak.
Misi gerakan 1000 HPK: i. Menjamin
kerjasama antar berbagai pemangku kepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan
dan gizi setiap ibu dan anak. ii. Menjamin dilakukannya pendidikan gizi secara
tepat dan benar untuk meningkatkan kualitas asuhan gizi ibu dan anak.
Tersimpulkan, ibu dan anak menjadi satu paket, menjadi
satu sistem.
TRADISI GIZI
Orang tua dalam memberikan asupan gizi ke anak
berdasarkan pengalaman pribadi. Apa yang dilakukan orang tuanya dulu, menjadi
acuan pertama dan utama. Terlebih jika ibunya hanya sebagai ibu rumah tangga
(rumga), sebagai ratu dapur. Semua yang dialami menjadi “pengetahuan”, menjadi
harga mati dan akan dilakukan setelah menjadi orang tua.
Pengetahuan tentang ‘4 Sehat 5 Sempurna’ diperoleh dari
warisan orang tua. Dimulai dari melihat ibunya belanja sampai menyaksikan
langsung praktek ibunya di dapur. Bahan baku olahan, cara mengolah sampai cara
menyajikan terekam kuat dalam memorinya.
Perubahan terjadi karena pengaruh pariwara, menjadi korban
iklan, terkontaminasi rayuan produk teknologi dan industri pangan yang
terpampang di toko. Makanan ringan, minuman lunak yang disajikan menarik mata
dengan harga terjangkau. Kemasan pabrik sampai hasil olah kuliner lokal, yang
terkadang bernuansa perasa buatan, pewarna buatan, dan penggunaan zat pengawet,
sebagai santapan utama pengganti nasi.
Celakanya, orang tua, atau ibu zaman sekarang tak mau
repot dengan urusan dapur. Kebutuhan santapan bisa dibeli di warung terdekat.
Sejak dini, bayi dikenalkan dengan produk cepat saji. Bubur dalam kemasan,
makanan ringan dengan aneka rasa dan mengenyangkan menjadi menu favorit ibu
rumga. Cepat olah, cepat saji, praktis menjadi gaya hidup kaum ibu untuk urusan
dapur.
Pengetahuan ibu, yang penting perut anak terisi, tidak
rewel. Soal gizi, mejadi pasal terakhir. Bahasa langit pemerintah di Pepres
42/2013 tidak sekedar susah dan sulit diterjemahkan kedalam kehidupan nyata di
bumi. Bahasa bumi seolah statis, lebih ditentukan tradisi, atau menjaga
kearifan lokal. Jangan salahkan pemerintah yang menjadi korban perdagangan
bebas dunia. Makanan/minuman full gizi masuk Indonesia tanpa sensor,
bebas melenggang masuk, bebas mendesak produk lokal tanpa sanksi.
PERJUANGAN LELAKI
Di pihak lain, terjadi betapa perjuangan cinta lelaki
mencari calon ibu untuk anaknya tak akan pernah berakhir, ketika Allah
mengkabulkan perjuangannya, akan memasuki babakan selanjutnya.
Lelaki jangan lupa
dengan asas ber-rumah tangga, membentuk keluarga islami, menyiapkan keturunan
yang tidak sekedar sebagai penerus silsilah, tetapi sebagai generasi masa
depan dalam prespektif Islam, bahkan sebagai investasi akhirat. Perjalanan hidup
dan masa depan anak diwarnai oleh akumulasi, gabungan maupun resultan dari
emosi dan karakter ibu bapaknya.
Biasanya, tradisi gizi akan
berlanjut dengan tradisi lainnya, misal tradisi pendidikan anak. Lelaki dengan modal ijazah SMA berani mencari kerja,
berani nikah, berani menumpang hidup di rumah orang tua atau berani tinggal di
pondok mertua indah. Lelaki pemberani ini bisa masuk kuadran “dengan
ijazah SMA bekerja, berharap anaknya lulus SMA sudah cukup”. Seolah hidup
hanya meng-copy paste dirinya ke anaknya.
GENERASI MASA DEPAN
Islam telah mewajibkan bagi orang
tua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya, dan juga tidak durhaka kepada
mereka. Menyiapkan anak atau generasi masa depan, mengacu terjemahan [QS
An-Nisaa’ (4) : 9] : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Adab berkeluarga atau membangun
rumah tangga tidak terlepas dari peran dua insan yang berlainan jenis, pasangan
suami-istri (pasutri) di dalamnya, mereka melaksanakan akad nikah sebagai
ibadah dan sunnatullah. Interaksi
yuridis dan biologis pasutri untuk mendapatkan anak keturunan sekaligus penerus
generasi masa depan.
Al-Qur’an telah memberikan
peringatan dini, agar kita tidak meninggalkan generasi lemah. Generasi penerus
yang diharapkan adalah generasi yang unggul, tangguh, ulet dan tahan banting.
Generasi prospektus yang dapat meneruskan tongkat estafet perjuangan. Bukan
generasi yang lemah secara akhlak, fisik, emosi, ekonomi, spiritual, atau pun
ilmunya, khususnya lemah aqidah.
Anak merupakan keturunan dari
satu keluarga, yang menjadi mata rantai keberadaan manusia dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Bagi orang tua, anak merupakan harapan sekaligus amanah
dari Allah SWT. Kewajiban orang tua mulai memberi nama yang bermakna baik,
memberi pendidikan, agama dan pengajaran sampai dicarikan jodoh atau
dinikahkan. Al-Qur’an menyuratkan anak sebagai perhiasan kehidupan dunia;
penyenang hati; menjadi musuh; hanyalah sebagai cobaan; dan janganlah orang tua
membunuh anak-anaknya karena takut kemiskinan [HaeN].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar