Halaman

Kamis, 08 Desember 2022

hukum yang tidak kau ketahui, tahu-tahu

hukum yang tidak kau ketahui, tahu-tahu 

Fiksi Hukum diatur lebih lanjut dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan Putusan MK No. 001/PUU-V/2007 keduanya memuat prinsip yang sama yaitu “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf” serta Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 yang menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”.    .  .  .  .  .   dst. (dicomot dari sumber https://indonesiare.co.id/id/article/pentingnya-mengetahui-fictie-hukum - “Pentingnya Mengetahui Fictie Hukum” Penulis: Arthur Daniel P. Sitorus, SH., AAAIK., CLA. 26 March 2019)

Demokrasi nusantara terasa masih ada denyutnya berkat jaminan konstitusi dan supremasi hukum.  Demokrasi sendiri sesuai hukum ekonomi-politik.  Urusan perut rakyat ketika diangkat menjadi persoalan bangsa, menjadikan banyak pihak merasa paling berkepentingan. Seperti lazimnya perebutan daerah basah, maka yang memang adalah manusia ekonomi.

Bayangan angka menyebabkan mata hijau.  Kalkulasi politik ditentukan oleh angka ekonomis. Biaya politik atau biaya ekonomi tinggi, manusia politik semakin terlihat ketidakberdayaannya.

Kepekaan sosial rakyat tapak tanah beririsan dengan sadar hukum generasi melek politik.

Maklum, pengusaha politik merupakan perpaduan manusia politik mengandalkan naluri, insting, bakat memanfaatkan celah, peluang sekecil apapun. Modus siapa cepat, siapa kuat, siapa nekat pasti dapat. Semakin mégatéga, pendapatan semakin berlipat.

SDM unggul nusantara  dikarenakan selaku penyandang sederet  “nama baik”. Anti gores, anti nista, anti pudar. Soal  tercemar oleh laku diri ybs. Kejadian usang berulang “pasangan kumpul kebo“ menjadi legal berkat HAM-LGBT. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar