hukum yang tidak kau ketahui, tahu-tahu
Fiksi Hukum diatur lebih lanjut
dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970 dan Putusan MK No. 001/PUU-V/2007 keduanya
memuat prinsip yang sama yaitu “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang
tidak dapat dijadikan alasan pemaaf” serta Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 yang
menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah
undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”. .
. . .
. dst. (dicomot dari sumber
https://indonesiare.co.id/id/article/pentingnya-mengetahui-fictie-hukum - “Pentingnya
Mengetahui Fictie Hukum” Penulis: Arthur Daniel P. Sitorus, SH., AAAIK., CLA.
26 March 2019)
Demokrasi nusantara terasa masih ada
denyutnya berkat jaminan konstitusi dan supremasi hukum. Demokrasi sendiri sesuai hukum ekonomi-politik. Urusan perut rakyat ketika diangkat menjadi
persoalan bangsa, menjadikan banyak pihak merasa paling berkepentingan. Seperti
lazimnya perebutan daerah basah, maka yang memang adalah manusia ekonomi.
Bayangan angka menyebabkan mata
hijau. Kalkulasi politik ditentukan oleh
angka ekonomis. Biaya politik atau biaya ekonomi tinggi, manusia politik
semakin terlihat ketidakberdayaannya.
Kepekaan sosial rakyat tapak tanah beririsan
dengan sadar hukum generasi melek politik.
Maklum, pengusaha politik merupakan
perpaduan manusia politik mengandalkan naluri, insting, bakat memanfaatkan
celah, peluang sekecil apapun. Modus siapa cepat, siapa kuat, siapa nekat pasti
dapat. Semakin mégatéga, pendapatan semakin berlipat.
SDM unggul nusantara dikarenakan selaku penyandang sederet “nama baik”. Anti gores, anti nista,
anti pudar. Soal tercemar oleh laku diri
ybs. Kejadian usang berulang “pasangan kumpul kebo“ menjadi legal berkat HAM-LGBT. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar