faktor peng-urung berlaku bagus-baik-benar-betul
Bertindak jujur diri di nusantara. Malah
mendapat stigma, sentimen negatif: sok jujur, sok moralis, sok agamais. Aman, tidak
ada komentar: sok mancasilais! Laku
diri di dunia, memang wajar jika praktek hidup berbangsa dan bernegara tidak
paham dalil ‘baik dan benar’. Terlebih hakikat bagus-baik-benar-betul
ditentukan oleh suara mayoritas, aksi paduan
aklamasi serta mufakat bulat. Tidak dapat diganggu gugat.
Bosan menjadi orang, mau berbuat
baik malah malu, karena dianggap aneh. Berkelakuan baik dan benar, diangap tak
sesuai zaman, norak. Contoh praktis ada di jalan. Antara pengguna jalan dengan
satuan bhayangkara penegak keadilan dan kebenaran, terjadi mufakat untuk
musyawarah. Semua pihak merasa benar. Yang menentukan kebenaran tak lain tak
bukan adalah.
Tahu pahamnya, menggunakan Bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Pola
dasar berbahasa yang baik dan benar. Benar sesuai aturan main, kode etik, adab
dan adat maupun norma lokal. Baik dalam batasan bahasa sebagai seni, cerminan
diri yang sudah terasah oleh suka-duka nikmat dunia.
Ungkapan “malunya anak bangsa nusantara
untuk berkata benar dan bertindak baik”. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar