suka sama suka vs selangkah-selingkuh
Tabiat bebas
adat lagi dipertontonkan oleh kawanan
manusia politik – tepatnya wayang politik –
menampilkan raciakan menu yang tidak dibutuhkan rakyat. Antar parpol atau koalisi
yang jagonya maju, atau mendukung
jago lawan politik, sepertinya sedang rembug serius. Rembug politik tak jauh
dari arisan kekuasaan. Sesama petugas partai dilarang saling rebutan kursi yang
sama.
Bisa jadi penganut sampai pengikut pasif LGBT (Lesbian,
Gay, Biseksual, dan Transgender) berhak mendirikan partai politik. Minimal buka cabang dari parpol mancanegara,
khususnya negara maju, supermodern. Apalagi negara kiblat politik
penguasa.
Perubahan pada cuma selisih waktu, kemarin dan sekarang.
Tempat aksi bisa langganan. Pelakunya sesuai jadwal. Berlaku di skala individu
pada sebuah keluarga. Sanksi ditanggung sendiri. Seolah hanya sekedar
melaksanakan sesuai aturan main. Kode etik bisa diakali karena demi panggilan
tugas atau tuntutan peradaban.
Reformasi yang bergulir mulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998. Anak bangsa pribumi nusantara termajinalkan,
terpinggirkan karena tak mampu bersaing dengan sesama. Secara alami masuk klas yang hanya ngebak-ngebaki nusantara. Banyak
tak menambah bilangan, berkurang tak mempengaruhi jumlah.
Ironis binti miris, sudah tidak ada
yang lebih jelek lagi. Sediaan maupun sisa stok reformasi ludes diborong penguasa. Oplosan ceplosan orang baik-baik, pemilik, penyandang
nama baik menstimulus cakapan bijak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar