Pentingnya Perencanaan Hidup untuk Akhirat
Ditulis : Herwin Nur, 18 Desember 2014

Tidak ada yang istimewa atau menarik perhatian pada jamaah yang duduk di
shaf pertama, di masjid Al-Falah di kompleks perumahan Taman Manggu Indah, kota
Tangerang Selatan, provinsi Banten. Mungkin karena sudah ada beberapa jamaah
yang langganan menempati shaf pertama, termasuk muazin yang siap
mengumandangkan azan maghrib. Begitu azan dikumandangkan pukul 18:06 wib,
jamaah yang duduk paling kiri mengeluarkan bungkusan. Tangan tengadah, berdoa,
minum dari bekalnya. Dilanjutkan mengunyah sesuatu, mengambil yang tersisa di
multnya, dibuang ke bungkusan. Tetap duduk tenang, tanpa gerakan yang
mengundang perhatian. Ternyata, bapak yang usianya di atas usia Rasulullah,
sedang buka puasa sunah Kamis.
Kalau dihitung, hari itu cuaca panas, tidak berawan. Jelang maghrib pun
tanah masih terang. Kejadian tadi semakin berarti. Setengah jam sebelum saya
berangkat ke masjid, seorang tetangga liwat depan rumah. Pria kelahiran setahun
sebelum Proklamasi itu ahli bertutur kata. Jika ketemu orang, tanpa diminta
memoriya diputar ulang, dari Side A ke Side B. Menceriterakan masa lampaunya
ketika jadi Abdi Masyarakat alias PNS di suatu kementerian. Yang bikin miris,
jika ybs diingatkan akan namanya yang islami, agar mikir masa depannya. Jangan
membanggakan masa lalu yang tak akan kembali. Dijawab dengan gelengan kepala.
Mulutnya tersenyum kecut. Diajak untuk reuni para hamba Allah di rumah Allah,
khususnya tausyiah subuh di hari sabtu/ahad, ybs selalu punya alasan untuk
mengelak. Atau punya alasan pribadi, niat pribadi setelah pensiun ingin ‘duduk
yang manis’. Hobi jalan kaki keliling kompleks hanya untuk menyalurkan hobi
buka memori.
Kedua kejadian di atas, akan semakin bermakna bagi kita, karena sesuai
firman Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an [QS Al Hasyr (59) : 18] : “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
Kedua insan di atas, dengan KTP seumur hidup, bisa sebagai peringatan bagi
kita. Jika ada perbedaan yang dilakukan, semua adalah atas kehendak Allah. Cara
mereka ‘memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)’ bukan
hal yang tiba-tiba. Ada latar belakang yang menjadikan mereka atau kita sebagai
ahli masjid atau ahli lainnya yang sifatnya duniawi.
Usia di atas 64 tahun masuk kategori usia tak produktif. Sejak tahun 2012
Indonesia mengalami Bonus Demografi. Bonus demografi terjadi ketika jumlah
penduduk berusia produktif 15-64 tahun lebih banyak ketimbang usia tak
produktif (di bawah 15 dan lebih dari 64).
Andai jika kita menyandang predikat ‘askar tak berguna’ atau pensiunan
bukan berarti sudah final segalanya. ‘Duduk yang manis’ sah-sah saja dan
manusiawi. Jangan lupa, kita memasuki tahapan kehidupan berikutnya, memasuki
babakan kehidupan selanjutnya. Berbekal waktu luang, bebas untuk melakukan apa
saja. Melakukan kegiatan yang tidak bisa dilakukan saat masih aktif atau dinas.
Semboyan pensiunan adalah “walau tak punya pekerjaan tetap, namun tetap
bekerja”. Atau “walau sudah punya penghasilan tetap (uang pensiun), tetap
produktif atau uber rezeki”.
Merencanakan untuk kehidupan duniawi bisa terukur. Kapan dikhitankan. Mulai
usia berapa anak disekolahkan. Kuliah atau kerja. Usia berapa nikah. Kondisi
yang diinginkan, sasaran yang akan dicapai, target yang akan didapat, hasil
yang akan diperoleh, semua terukur. Sebagai orang tua, jarang kita menargetkan
mulai usia berapa atau kapan anak melakukan sholat. Dengan cara apa anak
dipersiapkan untuk puasa Ramadhan. Atau diri kita sendiri tidak punya
rencana kapan naik haji. [HaeN/Wasathon.com].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar