Halaman

Kamis, 06 Agustus 2020

reaksi kimia generasi pasca covid-19, kurang didik vs salah ajar


reaksi kimia generasi pasca covid-19, kurang didik vs salah ajar

Faktor ajar dan faktor didik, menjadi satu paket. Menjadi PR menerus keluarga, rumah tangga, orang tua. Bahkan tumah tinggal selaku sekolah, madrasah pertama plus utama. Percepatan waktu lebih dimaknai mengenalkan anak sejak dini arti kehidupan. Pengaruh lingkungan tempat tinggal dan pergaulan, menjadi faktor penyubur.

Ketetapan-Nya yang tidak bisa dibantah, ditawar yaitu manusia tidak bisa memilih lahir dari siapa. Tak punya hak untuk menentukan jenis kelamin. Soal mau menjadi pengguna jalan lurus atau sebaliknya, tergantung faktor ajar, didik, panutan plus faktor asah-asih-asuh kedua orangtuanya. 

Adalah “nduwèni ilmu nanging kurang ngèlmu”. Bukan peribahasa, adagium, perumpamaan, ungkapan. Jauh dari makna filsafat, filosofi, falsafah. Juga tidak. Terkait peri kehidupan memang begitulah bunyinya. Ilmu formal bisa dituntut, diraih, ditimba, dikejar sampai negeri China. Meninggalkan tanah air, tanah kelahiran, beralih kewarganegaraan demi ilmu. Merasa dengan ilmu baru bisa untuk bekerja.

Manusia mengutamakan indera mata untuk merekam alat bukti, yang tersurat. Kendati mahir mengelola gawai di tangan. Duduk manis di tempat, ujung jari ikut arus kesejagatan. Tak ada sekat waktu plus tak ada batas jarak. Ruang dunia nusantara hanya masalah teritorial. Merasa bertambah pengalaman. Kian ahli berujar berbanding lurus dengan daya komen. Akhirnya tanpa akhir terbentuk sebagai pengguna ilmu permukaan, ilmu perkulitan.

Generasi penerus, pelestari, pengisi bangsa harus waras, cerdas, berdaya saing taham banting sehingga mampu menghadapi tantangan perubahan adab zaman. Pemerintah akan terus hadir, sigap, siaga, siap  melalui negara dalam memberikan peluang yang setara bagi seluruh warganya. Generasi terkini selalu sebagai aset menuju Indonesia Emas.

Orang dinilai dari penampilan, manusiawi. Pakai ilmu padi atau pilih ilmu kondom. Jaga imej bukan pasal nista. Garang garing, bagian utama dari modus menjaga stabilitas wibawa diri. Semakin berilmu semakin mengenali dirinya. Antara cerdas dengan berotak atau berilmu, bisa kontradiktif.

Domestikasi, lokalitas atau lokalisasi maupun karantina wilayah bersubsidi silang agar manusia bertransformasi kembali ke jati diri, kesejatian manusia. Soal utuh atau unggul, laik tanding atau pilih tanding, serahkan kepada asupan santunan jiwa raga. Pola grafik kemanusiaan bersifat gejolak dinamis, fluktuatif tergantung stabilitas eksternal. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar