reaksi kimia generasi
pasca covid-19, kurang didik vs salah ajar
Faktor ajar dan faktor
didik, menjadi satu paket. Menjadi PR menerus keluarga, rumah tangga, orang tua.
Bahkan tumah tinggal selaku sekolah, madrasah pertama plus utama. Percepatan
waktu lebih dimaknai mengenalkan anak sejak dini arti kehidupan. Pengaruh
lingkungan tempat tinggal dan pergaulan, menjadi faktor penyubur.
Ketetapan-Nya yang tidak
bisa dibantah, ditawar yaitu manusia tidak bisa memilih lahir dari siapa. Tak
punya hak untuk menentukan jenis kelamin. Soal mau menjadi pengguna jalan lurus
atau sebaliknya, tergantung faktor ajar, didik, panutan plus faktor asah-asih-asuh
kedua orangtuanya.
Adalah “nduwèni ilmu nanging kurang ngèlmu”. Bukan peribahasa, adagium, perumpamaan, ungkapan.
Jauh dari makna filsafat, filosofi, falsafah. Juga tidak. Terkait peri
kehidupan memang begitulah bunyinya. Ilmu formal bisa dituntut, diraih, ditimba,
dikejar sampai negeri China. Meninggalkan tanah air, tanah kelahiran, beralih
kewarganegaraan demi ilmu. Merasa dengan ilmu baru bisa untuk bekerja.
Manusia mengutamakan
indera mata untuk merekam alat bukti, yang tersurat. Kendati mahir mengelola
gawai di tangan. Duduk manis di tempat, ujung jari ikut arus kesejagatan. Tak
ada sekat waktu plus tak ada batas jarak. Ruang dunia nusantara hanya masalah
teritorial. Merasa bertambah pengalaman. Kian ahli berujar berbanding lurus
dengan daya komen. Akhirnya tanpa akhir terbentuk sebagai pengguna ilmu
permukaan, ilmu perkulitan.
Generasi penerus,
pelestari, pengisi bangsa harus waras, cerdas, berdaya saing taham banting
sehingga mampu menghadapi tantangan perubahan adab zaman. Pemerintah akan terus
hadir, sigap, siaga, siap melalui negara
dalam memberikan peluang yang setara bagi seluruh warganya. Generasi terkini
selalu sebagai aset menuju Indonesia Emas.
Orang dinilai dari
penampilan, manusiawi. Pakai ilmu padi atau pilih ilmu kondom. Jaga imej bukan
pasal nista. Garang garing, bagian utama dari modus menjaga stabilitas wibawa
diri. Semakin berilmu semakin mengenali dirinya. Antara cerdas dengan berotak
atau berilmu, bisa kontradiktif.
Domestikasi, lokalitas
atau lokalisasi maupun karantina wilayah bersubsidi silang agar manusia
bertransformasi kembali ke jati diri, kesejatian manusia. Soal utuh atau
unggul, laik tanding atau pilih tanding, serahkan kepada asupan santunan jiwa
raga. Pola grafik kemanusiaan bersifat gejolak dinamis, fluktuatif tergantung
stabilitas eksternal. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar