17 Agustus 1945 = 8, presiden ke-8 Indonesia akan
Pakai metode calistung, khusunya pada berhitung. Pertama.
1+7+8+1+9+4+5=35. Lanjut 3+5=8. Kedua.17+8+1945=1970. Lanjut 1+9+7+0=17. Lanjut
terakhir 1+7=8. Kata ahli angka, bilangan nusantara bahwasanya apa arti sebuah
angka, bilangan, nomor, nilai dan semaksud lain. Macam umur, usia yang kita
miliki walau bukan hak milik.
Diterapkan, ditetapkan sebagai urutan, antrian,
peringkat, strata akan terasa rasanya. Hakikat sebutan sulung bagi anak
pertama. Tidak sekedar kodrati, alami atau gawan bayen. Ungkapan karakter
dan nasib sulung kian dikupas akan tambah meluas. Kata bungsu tidak otomatis
lawan kata sulung.
Nama orang, misal Panca, berarti anak nomer lima. Kalau
lebih dari sepuluh, tanya ke ahlinya.
Kembali ke judul. Jadinya presiden RI urutan ke-8. Secara
matematis, otak-atik angka, teka-teki, gugon tuhon identik dengan misteri. Kurva
statistik kehidupan bernegara sesuai protokol peradaban seolah akan menemukan. Purnawaktu
atau sebelum jatuh tempo.
Ketika angka bicara, cari yang mampu mendongkrak
wibawa penguasa yang gemar main angka. Khususnya digit di belakang koma.
Semisal, jumlah masyarakat kurang beruntung melorot drastis.
Bukan tebak buntut lotere zaman Orde Baru. Muncul
femomena THR utawa tunjangan hari rabu. Muncul dukun tiban, dukum dadakan, ahli
membaca gejala alam dikaitkan dengan angka manjur. Ujaran orang gila hormat, dianggap
sinyal nomor yang akan keluar. Dehemnya pejabat diartikan pratanda sigap
waspada. Batuk ringan pejabat diwaspadai dengan was-was.
Sejarah tak akan mengingkari apalagi mengkhianati
fakta yang pernah terjadi. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar