berkecukupan vs baik-baik saja
Bukan hasil penilaian atau nilai-nilai yang berhasil diraih, dihasilkan. Apalagi
untuk menentukan kelulusan atau peringkat prestasi. Memang dan nyatanya, nilai
huruf C (cukup) menjadi multitafsir, bias, moderat. Ajang laga yang lain, mendapat
predikat C tapi C (cakap), bisa seumur-umur.
Sifat santun bangsa Jawa menunjukkan fakta terselubung, tersembunyi, susah
ditebak. Terinjak pun tidak marah ketika yang punya kaki minta maaf atau malah
tersenyum. “Cekap . . .”, spontan walau tidak ditanya. Posisi sebagai penerima
bantuan atau hadiah dari pihak yang berbaik hati. Menerima uang kembalian
belanja, susah hitung cepat atau kurang 50 Rp, senyum ikhlas: “sampun cekap . .
. ”.
Menerima seteguk air saat dahaga, meluncurkan ujaran: “cekap sanget . . . “
buat sang pemberi.
Kata ‘cakep’ mirip bahasa Jawa yang tadi. Beda susunan huruf hidupnya dan
memang beda arti.
Lantas, apa makna huruf B pada sistem penilaian. Dikonversikan ke angka,
skala 1 – 10. Aspek kebahasaan bisa berarti Bagus, Baik, Benar, Betul. Moderatnya
B adalah ‘biasa’, padahal istimewa. Terkait relativitas. Diterapkan pada indeks, harus pakai
penjelasan. Kapan muncul nilai A dan untuk siapa. Terserah dan kembali ke pedoman kode etik dan
etika berkehidupan.
Dalil ekonomi nusantara punya riwayat khas, catatan khusus. Satu-satunya di
dunia. Upah utuh di tangan. Komen dalam hati: “pas buat hidup layak sebulan”. Naik
berkala atau kalanya ada kampanye. Upah membengkak 25%. “Ini cukup sebulankah .
. . “. Terwujudnya negara sejahtera berkelanjutan. Upah masuk berlipat atau
susah dilipat saking tebalnya. Namanya manusia, tega-teganya berujar: “Segini
ini kurang . . “.
Kurang bersyukur. Tak tahu diuntung. Kalau rugi langsung teriak. Kayak
bahasa politik.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar