Halaman

Rabu, 26 Agustus 2020

berkecukupan vs baik-baik saja


berkecukupan vs baik-baik saja

Bukan hasil penilaian atau nilai-nilai yang berhasil diraih, dihasilkan. Apalagi untuk menentukan kelulusan atau peringkat prestasi. Memang dan nyatanya, nilai huruf C (cukup) menjadi multitafsir, bias, moderat. Ajang laga yang lain, mendapat predikat C tapi C (cakap), bisa seumur-umur.

Sifat santun bangsa Jawa menunjukkan fakta terselubung, tersembunyi, susah ditebak. Terinjak pun tidak marah ketika yang punya kaki minta maaf atau malah tersenyum. “Cekap . . .”, spontan walau tidak ditanya. Posisi sebagai penerima bantuan atau hadiah dari pihak yang berbaik hati. Menerima uang kembalian belanja, susah hitung cepat atau kurang 50 Rp, senyum ikhlas: “sampun cekap . . . ”.

Menerima seteguk air saat dahaga, meluncurkan ujaran: “cekap sanget . . . “ buat sang pemberi.

Kata ‘cakep’ mirip bahasa Jawa yang tadi. Beda susunan huruf hidupnya dan memang beda arti.

Lantas, apa makna huruf B pada sistem penilaian. Dikonversikan ke angka, skala 1 – 10. Aspek kebahasaan bisa berarti Bagus, Baik, Benar, Betul. Moderatnya B adalah ‘biasa’, padahal istimewa. Terkait relativitas. Diterapkan pada indeks, harus pakai penjelasan. Kapan muncul nilai A dan untuk siapa.  Terserah dan kembali ke pedoman kode etik dan etika berkehidupan.

Dalil ekonomi nusantara punya riwayat khas, catatan khusus. Satu-satunya di dunia. Upah utuh di tangan. Komen dalam hati: “pas buat hidup layak sebulan”. Naik berkala atau kalanya ada kampanye. Upah membengkak 25%. “Ini cukup sebulankah . . . “. Terwujudnya negara sejahtera berkelanjutan. Upah masuk berlipat atau susah dilipat saking tebalnya. Namanya manusia, tega-teganya berujar: “Segini ini kurang . . “.

Kurang bersyukur. Tak tahu diuntung. Kalau rugi langsung teriak. Kayak bahasa politik.[HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar