Halaman

Selasa, 04 Agustus 2020

rabu serasa malam jum'at


rabu serasa malam jum'at

Kendati budaya nusantara tak sebegitunya mempercayai hukum sebab akibat. Ternyata malah lebih. Percaya dengan proses alamiah, ilmaih, ilahiah. Kejadian yang akan datang merupakan efek, dampak dari fakta sekarang. Keterkaitan keluaran masa lalu sebagai masukan masa sekarang plus keterkaitan keluaran masa sekarang sebagai masukan masa depan. Masalahnya, bagaimana menjayikan kondisi terkini secara aklamasi masuk zona hijau. Minimal sesuai protokol kebangsaan.

Bagaimana hubungan kerja antara bulan, bumi dan matahari yang menghasilkan waktu bumi. Tahun syamsiah atau masehi maupun tahun qomariah atau hijrah menambah khazanah makna bulan plus hari. Hari lahir bayi menurut hitungan Jawa atau pasaran (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi) dan hari penanggalan Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu). Mampu menetapkan dan menerapkan ritual spiritual.

Langsung agar tak berlarut benjut. Aneka ritual spiritual yang sengaja tak disebutkan. Bagian utuh dari “budaya asli” nusantara. Watak bumi atau pribadi manusia sangat dinamis, fluktuatif ukuran harian. Hak prerogatif atas kendali diri tak sepenuhnya. Manusia tak mampu memerintahkan mata agar segera memejamkan mata alias tidur. Rasa kantuk sudah di atas rata-rata. Namun jika argo jiwa masih berdetak, belum stabil. Fisik tetap siaga.

Manusia yang tak terikat waktu untuk bermanusia, berlaku selaku hamba-Nya. Menjadikan hari ini lebih baik ketimbang kemarin. Esok hari yang belum terjadi masukan urusan gaib menjadi hak total Allah swt. Tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). Menjelang penghulu hari, acara kamisan di masjid. Perbanyak shalawat. Kirim doa ke kedua orangtua.

Proses penantian, menyongsong datangnya hari mulia. Persiapan diri bukan sekedar “ritual”. Dampak ke belakang, keterkaitan ke belakang. Evaluasi dan mawas diri mingguan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar