rabu serasa malam jum'at
Kendati budaya nusantara
tak sebegitunya mempercayai hukum sebab akibat. Ternyata malah lebih. Percaya
dengan proses alamiah, ilmaih, ilahiah. Kejadian yang akan datang merupakan
efek, dampak dari fakta sekarang. Keterkaitan keluaran masa lalu sebagai masukan
masa sekarang plus keterkaitan keluaran masa sekarang sebagai masukan masa
depan. Masalahnya, bagaimana menjayikan kondisi terkini secara aklamasi masuk
zona hijau. Minimal sesuai protokol kebangsaan.
Bagaimana hubungan kerja
antara bulan, bumi dan matahari yang menghasilkan waktu bumi. Tahun syamsiah
atau masehi maupun tahun qomariah atau hijrah menambah khazanah makna bulan
plus hari. Hari lahir bayi menurut hitungan Jawa atau pasaran (Pahing, Pon,
Wage, Kliwon, Legi) dan hari penanggalan Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis,
Jumat, Sabtu, Minggu). Mampu menetapkan dan menerapkan ritual spiritual.
Langsung agar tak berlarut
benjut. Aneka ritual spiritual yang sengaja tak disebutkan. Bagian utuh dari “budaya
asli” nusantara. Watak bumi atau pribadi manusia sangat dinamis, fluktuatif ukuran
harian. Hak prerogatif atas kendali diri tak sepenuhnya. Manusia tak mampu
memerintahkan mata agar segera memejamkan mata alias tidur. Rasa kantuk sudah
di atas rata-rata. Namun jika argo jiwa masih berdetak, belum stabil. Fisik tetap
siaga.
Manusia yang tak terikat
waktu untuk bermanusia, berlaku selaku hamba-Nya. Menjadikan hari ini lebih
baik ketimbang kemarin. Esok hari yang belum terjadi masukan urusan gaib
menjadi hak total Allah swt. Tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). Menjelang penghulu
hari, acara kamisan di masjid. Perbanyak shalawat. Kirim doa ke kedua orangtua.
Proses penantian, menyongsong
datangnya hari mulia. Persiapan diri bukan sekedar “ritual”. Dampak ke belakang,
keterkaitan ke belakang. Evaluasi dan mawas diri mingguan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar