niat rebus air mandiri,
tunggu kompor istirahat
Tak ada dalilnya. Tapi menyerempet
pasal anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Khususnya pada usaha keluarga
menengah maupun menepi. Adab rumah tangga, keluarga kian bias gender. Gema fakta
ketika tulung rusuk alih fungsi menjadi tulang punggung.
Adalah asumsi empiris
berpadu dengan sinyelemen normatif. Kendati munculnya kasus mirip gaya insiden
tapi insidental. Grafik ritme kehidupan seseorang pakai asas keterkaitan ke
belakang maupun keterkaitan ke depan. Jebakan masa stagnan bukan cari amannya. Pengalaman
menyelesaikan persoalan hidup bukan jaminan sebagai ahli yang layak.
Bersyukur saat sampai
rumah dari belanja, pas azan ashar. Asupan gizi pelengkap 4 sehat 5 sempurna diri
tak pakai cadangan atau penimbunan sementara. Makanan pokok masih andalan peran
serta aktif dan nyata pada proses pencernaan individual. Keterlambatan pasokan
tidak mempengaruhi kinerja perut.
Satu sachet kopi hitam,
aroma bakaran terasa diisapan hidung. Disedu air mendidih, ditutup agar matang
dan tetap hitam. Siapkan oplosan aneka susu putih, bubuk kedelai di cangkir
ukuran manula. Utamakan sholat ashar sambil tunggu kompor masih beroperasi. Mengkukus
bahan baku yang beda karakter. Apalagi pakai semburan api minimalis, bisa
ditinggal santai.
Apa daya, daya apa. Panggilan
perut karena energi diserap kaki. Bahan yang dikukus tak keluarkan aroma. Berdasarkan
lama pakai, dipastikan sudah layak santap. Asas normatif antrian, ganti pemain.
Ternyata, bahan kukusan masih mentah dalam. Butuh waktu lebih lama ketimbang
memproduknya.
Memang berhasil meneguk
isi ulang energi terpakai kaki. Ironis, muncul haus yang lain. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar