prosesi jalan tegaknya hukum nusantara
Adagium berbasis praktik hukum “di mana tempat kejadian perkara, berlaku
hukum main hakim sendiri”. Contoh nyata mudah dicerna adalah laga antar supporter
sepak bola di luar lapangan. Bisa bermula di lapangan, karena wasit tidak
tegas, tidak netral. Atau kesebelasan kesayangan kalah di kandang sendiri. Penonton
terangkat obsesinya, merasa bisa menjadi pemain yang tinggal cetak goal. Tak perlu
pakai keringat sendiri.
Efektivitas budaya konflik politik
nusantara. Dimulai sejak anak bangsa nusantara berketurunan kenal apa itu
partai politik, paham apa itu organisasi kemasyarakatan. Pergerakan mengatasnamakan
rakyat sampai perwakilan daerah, nyaris beririsan dengan aneka konflik.
Polisi militer, provos atau sebutan
semaksud lain, menjadi pemacu pemicu hukum atas hukum. Semakin banyak produk
hukum. Lazim karena ratusan juta rakyat yang diatur. Semakin kuat lembaga
negara yang menangani hukum berbanding lurus dengan rapuhnya moral aparat
hukum, hamba hukum.
Alat negara yang mengawasi hukum
jalan dan lalu lintas. Istilah “priit jigo” pernah tenar. Damai di tempat, tak
kalah meriah dengan semboyan lainnya. Mengacu
judul “ada uang hukum tergantung vs ada kuasa hukum terpasung”. Mau apa lagi. Tak perlu ada yang
perlu diperjelas lagi. Disibak, disimak lebih seksama, semakin jelas bahwasanya
hukum produk politik vs politik produk hukum rimba belantara nusantara.
Berurusan dengan badan peradilan,
bukan untuk mencari keadilan dan atau kebenaran. Lebih dikarenakan budaya
mencari kemenangan. Seperti modus partai politik mencari kemenangan di pesta
demokrasi. Bukan akan mewujudkan bangsa yang adil, makmur, sejahtera.
Barangsiapa dengan sengaja
mengkedaluwarsakan kasus hukum. Maka. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar