pasca agresi covid-19, balik modal vs normal akal
Momentum atau saat yang tepat, bak penyesalanan yang
datangnya belakangan. Jatuh berkali-kali, ke sekian kali memang harus bangkit.
Seolah jatuh-bangun menjadi kejadian wajar, alami, lumrah. Menimpa siapa saja
tanpa pandang gender, silsilah maupun ketinggian tempat kedudukan. Selaku
pelaku aktif melakukan menu harian berbasis keterkaitan ke belakang maupun
keterkaitan ke depan.
Petikan bonus demografi, seolah terbetik fakta bahwa ada
batasan masyarakat yang kurang beruntung (disadvantaged) dan atau
terpinggirkan (marginalized) karena faktot umur, usia, uzur. Frasa
“berorientasi pada kebutuhan” yang melandasi gerakan aksi nasional
anti-covid-19.
Ketergugahan jiwa nusantara beragama, nusantara
bersubsidi. Rasa jiwa persatuan, kesatuan, keutuhan nusantara terbentur sekat
politik bebas aktif. Kontradiksi, keterbalikan dari asas tenggang rasa lintas
agama. Gembala pengadu domba warisan penjajah, tak mau dan tak rela jika umat
tetap kokoh di jalan lurus, sesuai fitrah akidah.
Secara normatif, arahan protokol kesehatan mengacu dan
mengaca pada standar WHO. Otonomi dan otoritas pemetintah daerah, diperkuat
dinasti politik, orang kuat lokal, kolaborasi pengusaha-penguasa teritorial
mengambang. Daerah bisa langsung kontak
dengan pihak ketiga. Sebaliknya, daerah dengan arahan kebijakan pemerintah
sesuai asas top-down, ketergantungan pada APBN. Norma kehidupan normal
bernegara sesuai skenario, skema, sistem multipihak.[HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar