demokursi nusantara
pantas harganya
Model demokrasi yang
lahir dari rahim Ibu Pertiwi, bak anak pungut. Karena tiap ruas jalan punya
penguasa, raja jalanan. Berderajat sedikit memakai organisasi dan mempunyai
teritorial, wilayah kerja. Efek pembalakan liar, penggundulan hutan, raja hutan
bergeser. Penguasa de facto dan atau de jure bukan ilusi politik.
Perjalanan demokrasi
nusantara mengarah ke sistem siapapun atau pihak manapun, lewat pesta demokrasi, pemenang selaku pemegang otoritas politik,
belum tentu berdaulat. Simak santai pemilihan kepala desa. Aroma irama partai
politik belum kentara. Namun mampu menyisakan fakta atau PR besar bagi
penggembira UU tentang Desa. Eksistensi, jati diri rakyat masih alami, natural.
Format formal putra-putri asli daerah menjadi pasal liar.
Pesta demokrasi daripada
Suharto, menjadi ajang hajat partai politik. Berebut kursi yang sama plus
merebut hak politik pemilih yang sama. Pilkada menjadi kompromi politik yang
beda jauh dengan koalisi parpol pada pilpres. Banyak faktor yang menentukan
perolehan suara. Penentuan dan penetapan pasangan bakal calon kepala daerah
menyedot persentase biaya politik yang mungkin dominan. Ongkos mesin politik
ditanggung partai pengusung.
Status rakyat pada
pemilihan presiden naik status dengan sebutan warga negara. Indikator murah
meriah, simpel, sederhana, jika capres hanya skala lokal atau klas regional,
maka malah menjadi daya tarik investor politik multipihak. Tapi, beginilah
demokrasi yang tersisa. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar