petugas partai sudah tangan ke berapa
Namanya gengsi, suatu saat zaman minyak sedang booming. Kerja di Pertamina menjadi idaman, primadona semua pemegang ijazah pendidikan formal. Saking punya nama besar pekerja kantoran maupun pekerja lapangan. Tukang jual minyak tanah, bangga mengenalkan dirinya selaku pegawai Pertamina. Bahkan ujung tombak berhubungan langsung dengan pihak pembeli, penerima manfaat, pengguna akhir.
Cerita berubah drastis ketika minyak tanah dikonversi ke gas elpiji (LPG). Berlanjut serba seru dengan perubahan bensin dan BBM lainnya. Tol laut menjadikan BBM satu barang satu harga. Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, menegaskan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah Nusantara. Laut bukan lagi sebagai pemisah, melainkan sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Prinsip itu kemudian ditegaskan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4/PRP/1960.
Guncangan harga komoditas politik skala global dan atau regional menentukan pasar politik domestik nusantara. Persaingan global merasuk sukma, merambah ranah domestik yang menampilkan komprador-komprador pihak asing baik perorangan, oknum maupun kelompok. Bahkan sistem pemerintah sudah menjadi ‘oknum’.
Jika kita simak rangkaian, runtutan, rentetan bencana politik yang
bersumber dari pusat kekuasaan negara, di balik pintu penguasa, sumber segala
sumber. Teori secanggih apapun tidak bisa menjawab. Kajian akademis kelas dunia
hanya bisa memberi komentar datar. Ironis binti tragisnya, mantan pelaku utama
sampai pelaku numpang duduk, tidak tahu apa yang telah dilakukannya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar